Uji Nyali di Bukit Batu Ratapan Angin

Bukit batu ratapan angin Dieng

“Ku kutuk kalian menjadi batu!” Teriak Pangeran sambil menunjuk sang putri dan kekasihnya yang terus mengiba-iba memohon maaf.

Apa daya.  Kemarahan telah memuncak. Kutukan telah terucap. Tak mungkin ditarik kembali.  Kalimat bertuah itu mewujud dengan berubahnya pasangan terlarang itu menjadi batu.  Satu dalam posisi berdiri, satu lagi dalam posisi duduk bersimpuh layaknya orang yang memohon pengampunan. Angin yang bertiup disela bebatuan itu menghasilkan suara lirih laksana rintihan kesedihan. Sebuah ratapan penyesalan.  Maka sejak itu disebutlah  keduanya dengan bukit batu ratapan angin.

Dikhianati. Dibohongi. Diselingkuhi. Tentu saja bukan rasa yang nyaman.  Sebuah hubungan penuh cinta yang terjalin sekian lama tiba-tiba hancur oleh orang ketiga.  Ketika kecewa dan emosi menguasai, demikianlah, segala kemungkinan bisa terjadi tanpa terkendali.  Mungkin itulah yang dirasakan oleh sang Pangeran ketika mendapati pasangan jiwanya tengah memadu kasih dengan orang lain, di sana, di atas bukit nan indah dengan pemandangan Telaga warna dan Telaga Pengilon di kejauhan.

Entah benar entah tidak, cerita ini saya dapatkan dari para penduduk sesaat sebelum memutuskan naik ke atas bukit.  Percaya atau tidak urusan kesekian, tapi mari memetik pelajaran berharga. Kisah ini mengingatkan kita akan pentingnya arti kesetiaan.  Betapa janji adalah sebuah kewajiban yang harus dijalani.

Baca juga  Mereguk Sepi dalam Keheningan Telaga Menjer

Ada Apa di Bukit Batu Ratapan Angin

Usai menonton sejarah Dieng Plateau di Theater Dieng, saya melihat petunjuk arah menuju Bukit batu ratapan angin beserta foto-foto dalam  banner yang terpasang di salah satu sisi area parkir theater.  Sayang rasanya sudah sampai disini kalau gak sempat naik ke bukit, apalagi Prema memang penasaran pengen naik jembatan merah putih sejak pertama kali melihat fotonya di banner itu.

Tertatih kami kemudian mendaki bukit.  Bukan apa-apa sih, ini kami sudah on sejak jam 3 dini hari soalnya.  Sudah jalan kaki juga mendaki bukit sikunir buat menyambut matahari terbit. Jadi jam 10 pagi kembali naik bukit rasanya sesuatu banget ya buat paha dan lutut.  Dan wooooooo……. Rasanya letih mendaki langsung terbayar begitu kami tiba di atas.  Lukisan alam nan indah terpampang nyata di hadapan.

Baca Juga : Mengejar Matahari Terbit di Puncak Sikunir

Dua telaga berbeda warna, di tempat yang sama, hanya terbatas setapak jalan bersanding dengan indah.  Tak saling mengganggu satu sama lain, tak ada yang tampak lebih menonjol dibanding saudaranya.  Damai.  Dialah Telaga Warna dan Telaga Pengilon.  Dua sahabat, yang meski berbeda tetap bisa bersama.  Lalu apa kabar kita, yang masih selalu berdebat soal perbedaan?

Maksud hati ingin berdiri seperti cowok di atas batu itu, apa daya nyali menciut. Cukup di gardu pandang saja
Maksud hati ingin berdiri seperti cowok di atas batu itu, apa daya nyali menciut. Cukup di gardu pandang saja

Dan disinilah, dua batu bersanding tepat di sisi tebing nan curam.  Entah kenapa, keberanian saya menciut melihat batu itu.  Saya yang biasanya gak takut ketinggian kok yo mengkeret pas mau pose cantik di sana.  Sementara Prema bolak balik merengek pengen naik, saya justru sibuk menahannya.  Duuuh… batu itu menjulang dan gak ada tempat untuk berpegangan atau sekedar sandaran saat berada dipuncaknya lho.  Melihat pengunjung yang bisa nyantai narsis disana, saya malah takut sendiri sembari ngebayangin kaki yang bisa saja tiba-tiba terpeleset atau batu yang mendadak runtuh. Aih cemen kali saya ini #tutupmuka

Akhirnya naik juga. Tapi segini saja
Akhirnya naik juga. Tapi segini saja

Saat angin berhembus melewati sela-sela batu, desisannya terdengar seperti siulan di kuping saya.  Katanya sih, buat sebagian orang, suaranya seperti ratapan tangis, yang konon berasal dari tangisan putri dalam legenda di atas.  Dan akhirnya, setelah mengumpulkan sedikit keberanian, saya naik juga keatasnya, gak berani berdiri kakaaak.  Duduk manis aja deh, itupun hanya di step bawah.  Ampun deh.  Prema juga saya tahan untuk tak naik lebih tinggi.  Untungnya dia nurut.  Selebihnya, kami memilih narsis di gardu pandang saja.

Jembatan Merah Putih

Dari batu bersanding, kami melanjutkan perjalanan ke sisi lain puncak bukit ini.  Penasaran pengen mencoba melintas di jembatan merah putih, yaitu jembatan gantung yang di pasang sedemikian rupa menghubungkan dua buah batu diketinggian.  Lagi-lagi lutut saya mendadak gemetar.

Gak tau saya kenapa hari itu, kok jadi penakut banget.  Melihat jembatan gantung itu bergoyang-goyang saat dilintasi, nyali saya kempes.  Padahal pakai pengaman lho nyebrangnya, ada pegangannya pula di sisi kanan dan kiri.  Tapi Prema terus merengek dan membujuk saya.  Disuruh naik berdua saja bareng Ayah, anaknya gak mau, pokoknya harus lengkap bertiga. Duh… ini ya bener-bener uji nyali dah buat saya.  Saat si kakak petugas mengikatkan harness dan memasang carabiner yang menghubungkan saya dengan tali pengaman, saya berkali-kali memastikan bahwa semua terpasang dengan baik.

Jembatan merah putih Dieng
Percayalah, dibalik narsis itu ada lutut yang gemetar

Oke. Perjalanan dimulai.  Ayah di depan, lalu Prema menyusul dan saya di belakangnya. Ehk. Ayah dan Prema jalan dengan santai, Prema bahkan bertingkah menginjak tali sebagai pijakan, bukan papan pijakan yang seharusnya.  Saya berjalan gemeteran dong.  Berusaha menyesuaikan kecepatan gerak dua lelaki di depan sekaligus menjaga keseimbangan karena jembatannya bergoyang. Mas-mas petugas yang mengambil gambar berkali-kali meminta saya lebih maju agar saat di foto bisa masuk dalam satu frame dengan komposisi yang pas. Jadi jangan tertipu sama senyum manis saya di foto-foto berikut ya.  Percayalah, itu senyum perjuangan.

Jembatan merah putih Dieng
Saya tertinggal jauh di belakang
Jembatan merah putih Dieng
Ehm. Senyum Perjuangan

Prema dong, usai melintasi jembatan merah putih, masih merajuk juga.  Pengen naik ke batu besar di sebarang jembatan dimana kakak-kakak fotografer duduk untuk mengambil gambar ke arah jembatan.  Dan itu tinggi sekali.  Memang dasar cah bagus ini gak ada takutnya ya.  Malah emaknya yang deg deg ser liat dia manjat tebing-tebing batu itu.

Jembatan merah putih Dieng
Cah Bagus di atas tebing batu

Dari sini saya belajar untuk melawan rasa takut.  Tanamkan keyakinan dalam diri, bahwa ketakutan itu hanya ada dipikiran.  Kitalah penguasa dan pemegang kendalinya.  Mencoba hal-hal baru adalah tantangan tersendiri yang tentunya tak akan pernah diketahui hasilnya jika belum mencoba.  Maka satu-satunya yang harus dilakukan adalah mencoba, berusaha lalu lihat hasilnya.

Ah. Jadi kangen pengen ke Dieng lagi.  Masih banyak spot-spot wisata yang belum sempat kami singgahi.  Sahabat ngiring melali, apakah kita bisa jadi teman seperjalanan?

 

15 thoughts on “Uji Nyali di Bukit Batu Ratapan Angin

  1. cantik, suka dengan sawah sengkedan begitu mbak.
    eh iya saya lom pernah mampir di blog baru mbak 🙂
    ehem… saya pikir apa arti nama blog inni. ternyata artinya Jalan2 Yuk hehe.
    Hayuk jalan2 mbak

  2. Dina Mardiana says:

    Wah, sudah lama banget gak ke Dieng.. waktu itu saya gak nonton teaternya (atau susah tapi mungkin lupa ya? 😁), sama nggak ngelewatin si jembatan merah…

    • Wah harus diulang lagi ke Diengnya mbak
      aku aja masih pengen banget balik lagi hehe
      Theaternya berada dalam satu lokasi dengan bukit batu ratapan angin ini, jadi biasanya pengunjung kalau ke theater pasti menyempatkan juga buat naik bukit

Leave a Reply to Grace Melia Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *