Menembus Lorong Sejarah Lewat Drama Musikal Khatulistiwa

Setiap kita punya pahlawan masing-masing.  Setiap individu juga bisa jadi pahlawan.  Begitupun sebuah bangsa, mengukir sejarah kepahlawanannya sendiri.  Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke sangat kaya dengan kisah perjuangan dari era kerajaan, perdagangan VOC hingga meraih kemerdekaan yang berdaulat.  Bermula dari semangat untuk mengenalkan sejarah dengan cara yang menyenangkan, drama musikal khatulistiwa ini hadir  mengisi relung pengetahuan keluarga Indonesia dengan harapan bahwa lewat sejarah, kita semua dapat menghargai setiap pencapaian sekecil apapun itu sekaligus mensyukuri dan menjaganya agar tetap lestari.

Ceritanya hari Sabtu kemarin kami berkesempatan nonton Drama Musikal Khatulistiwa di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Ini kali pertama kami nonton drama musikal langsung dari panggung teater. Agak keder juga awalnya liat barisan penonton, kok kayaknya ini pertunjukan kelas atas ya.  Yang datang, dandanannya rapi jali bo.  Ibu-ibu bersasak tinggi dengan high heels dan tas bermerk, bapak-bapak berbatik macam mau kondangan, pun anak-anak dengan tampilan wah.  Sementara kami, hadir dengan gaya ngegembel pisan.  Kaos, celana panjang dan sepatu kets. Eh tapi jangan salah, kaos kami dong tulisannya “Semangat Indonesia” pas to dengan drama musikal ini. Haha.

Dikemas dengan metode story telling dari seorang bapak ke anak-anaknya sembari mengajak mereka berkemah, drama musikal ini membawa kita melintasi lorong sejarah dalam 2 babak dengan sangat menarik dan tak membosankan.  Prema, putra saya yang berusia 6 tahun saja sangat menikmati alur ceritanya.  Padahal jujur, awalnya mah saya agak was-was juga dia bakalan bosan dan ngantuk.  Ternyata ndak lho, dia malah antusias banget mengikuti adegan demi adegan. Durasi 2,5 jam dengan jeda 15 menit berlalu tanpa terasa.

Babak Pertama : Pertumpahan Darah

Terdiri dari 8 adegan, drama musikal ini menghadirkan kisah kepahlawanan dari berbagai daerah di Indonesia.  Di mulai dari kedatangan Belanda di Banten periode 1596 – 1958  kemudian berlanjut pada kisah jalan raya Post yang menjadi saksi bisu kekejaman Daendels dan seterusnya menuju Sumedang lewat adegan Sumedang terbakar dengan Pangeran Kornel yang gagah berani melawan Marsekal Guntur, hingga kita diajak berkelana ke Makassar dimana Sultan Hasanuddin mengecam penjajah yang memecah belah persatuan diantara saudara.  Damai tapi tergadai.  Makmur tapi terjemur. Lanjut ke Bali dengan Patih Jelantik dan pasukan Buleleng yang siap perang puputan. Tak lupa drama musikal ini juga mengangkat kisah heroik para pahlawan wanita kita antara lain Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu dan Putri Lopian dari tanah Batak.  Masing-masing mengukir sejarah dengan caranya yang luar biasa.

Totalitas para pemain yang luar biasa
Totalitas para pemain yang luar biasa. Photo by @momentochronos

 

“Kenapa Indonesianya kalah terus, bu?”

Demikian pertanyaan berulang yang  ditanyakan Prema setiap kali satu adegan ditutup dengan tertembak atau tertangkapnya ksatria-ksatria Indonesia ini.

Pertanyaan berat.  Saya harus berpikir sejenak memilih kalimat yang pas dan sesuai dengan nalar bocah 6 tahun. “Karena kita belum bersatu.  Jadi dulu Belanda datang untuk merebut Indonesia, tapi caranya dengan membuat kita, sama-sama orang Indonesia berantem.  Karena kitanya berantem jadinya kita ndak kuat dan kalah,” saya berusaha menerangkan dengan bahasa yang sesederhana mungkin.

“Maksudnya, orang Indonesia ada yang jahat ya, bu?”

“Bukan jahat sih, hanya mungkin belum tahu kalau Belanda itu mau merebut Indonesia”.

“Terus kapan Indonesia menang?

“Nanti ya, kita lanjut dulu nontonnya.  Nanti juga Prema bakal liat Indonesia menang”.

Detik-detik tertangkapnya Cut Nyak Dhien

Salah satu adegan yang bikin saya sempat tercekat adalah ketika Cut Nyak Dhien ditangkap dalam rinai hujan.  Satu sisi, tertangkapnya beliau terlihat sebagai buah dari pengkhianatan dari panglima perangnya, di sisi lain panglima melakukan ini karena tak tega melihat kondisi beliau yang buta dan renta tapi masih harus keluar masuk hutan memimpin pasukan sehingga terpaksa membuat perjanjian penangkapan bersyarat untuk Cut Nyak Dhien.  Ah entahlah. Yang pasti hati saya gerimis menonton bagian ini.  Tak kalah menyayat hati, tertembaknya putri Lopian yang menghembuskan nafas terakhir dipangkuan ayahanda Sisingamangaraja.  Duuuuh….

Babak kedua : Perang Intelektual

Ing Ngarsa Sung Tulada.  Ing Madya Mangun Karsa

Tut Wuri Handayani.  Pendidikan Untuk Semua

Setelah jeda selama 15 menit, di babak kedua drama musikal ini menyajikan pertunjukan dengan karakter berbeda.  Kali ini tak lagi mengisahkan peperangan dengan senjata, tapi lebih ke pendidikan.  Dibuka dengan mengambil setting sekolah perempuan pertama, di Bandung, oleh Dewi Sartika.  Pesan yang disampaikan sangat jelas : Kaum priyayi atau petani, pria atau wanita, semua harus mendapatkan pendidikan yang layak.

“Ibu, kok ceritanya begini? Mana perangnya yang Indonesia menang?” Lagi-lagi cah bagus bertanya

“Perang itu gak bagus, Nak.  Tadi khan kita lihat sama-sama, karena perang jadi banyak yang meninggal.  Banyak yang kena tembak.  Dan itu semua karena kita melawan pakai tenaga, bukan pakai ilmu pengetahuan, jadinya kalah. Tapi biarpun kalah, semua itu orang-orang hebat yang sudah berjuang untuk membela Indonesia”

“Memangnya kalau udah pintar, jadi bisa menang Indonesianya?”

“Iya.  Karena kalau kita pintar, kita ndak bisa dipecah belah.  Penjajah takut sama orang pintar.  Makanya, kita semua harus rajin belajar, rajin sekolah supaya jadi pintar.  Kalau pintar, kita gak bakal dikalahkan sama orang lain.” Mikir keras saya mencari penjelasan buat Prema

Bagian ini memang agak melambat ritmenya dan Prema tampak mulai bosan plus ngantuk.  Memang belum bobo siang sih dia, jadi mulai agak rewel. Dan biasanya saat rewel dia akan bolak balik bertanya hal yang sama.

Babak-babak selanjutnya menghadirkan tokoh-tokoh utama pendidikan Indonesia seperti H.O.S. Cokroaminoto. Ki Hajar Dewantara, Kartosoewirjo, dll yang semua dikemas dengan sangat manis.  Sampai pada ikrar sumpah pemuda yang dibawakan dengan sangat baik, terutama saat perdebatan tentang tata bahasa dalam ikrar tersebut.  Sungguh membangkitkan semangat persatuan Indonesia.

Bagi kita, pemuda Indonesia

Bukanlah masalah keyakinan, bukan masalah benar atau tidak benar.

Persatuan Indonesia adalah masalah yang berakar dalam diri kita masing-masing,

Suatu masalah perasaan yang membangunkan kesadaran kita yang dalam

Mau atau tidak kita semua tergolong Bangsa Indonesia

Mau atau tidak di dalam tubuh kita mengalir Darah Indonesia

Mohammad Yamin (sekretaris kongres)

Petikan Pidato Pembukaan Kongres Pemuda Kedua, 1928

Lalu invasi Jepang datang.  Saat kita sudah mulai bersatu, mereka hadir dengan janji manis Cahaya Asia.  Sebuah invasi pembawa petaka.  Mengaku saudara tua yang ternyata tak lebih baik daripada Belanda.

“Katanya Jepang baik, kenapa orang Indonesianya  malah disiksa?” Lagi-lagi Prema bertanya

“Iya. Awalnya baik. Tapi ternyata mereka bohong, jadinya Indonesia dijajah lagi deh,”

“Tapi khan orang Indonesia udah pintar, katanya kalau pintar bisa menang, kapan menangnya?

“Sebentar lagi menang, sabar ya.  Nonton aja dulu,” bisik saya ke Prema

Dan begitulah.  Bom atom meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki.  Adegan di panggung menghadirkan Peristiwa Rengasdengklok dimana Soekarno Hatta dituntut untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Proklamasi dimulai dari sini. Hingga akhirnya dibacakan pada 17 Agustus 1945 dari jl. Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Pertunjukan ditutup dengan lagu Indonesia Raya dimana seluruh penonton berdiri, mengibarkan bendera merah putih yang dibagikan oleh panitia sembari ikut bernyayi.  Saya merinding. Terharu. Bangga.

Babak demi Babak yang Mempesona

Lakon drama musikal adalah perpaduan bahasa tubuh, lisan, visual sekaligus musik yang membius.  Bagaimana para pendukung pertunjukan menyajikan harmonisasi agar penonton tak bosan adalah hal yang layak diberi jempol.  Saya merasakan totalitas dari semua pemain.  Pemeran pendukung hadir di panggung sama bagusnya dengan pemeran utama yang memang sudah malang melintang di depan kamera, sebut saja Sita Nursanti, Rio Dewanto, Epy Kusnandar, Tika Bravani dll.  Drama musikal ini menghadirkan 100 talent yang merupakan gabungan siswa, mahasiswa dan para pegiat seni di Jakarta.

Pergantian adegan demi adegan berjalan mulus.  Hampir semua ditutup dengan riuh tepuk tangan dari penonton dan ditandai pula dengan pergantian setting panggung.  Jempol lagi buat para pekerja dibelakang layar yang sigap mengganti setting setiap adegan.  Gerak cepat agar tak telat.  Bagian yang paling saya kagumi adalah menghadirkan efek hujan saat Cut Nyak Dhien tertangkap. Aih itu keren.  Suasana syahdunya dapat banget.

Kerennya lagi, drama musikal yang dipersembahkan oleh CIMB Niaga bersama Josodirdjo Foundation dan ZigZag Indonesia ini, akan memproduksi dan menyebarluaskan 5000 video drama ini ke berbagai sekolah di seluruh pelosok Nusantara.  Jadi, semua anak bangsa bisa belajar sejarah dengan cara yang asyik dan menyenangkan. Dan yang paling penting, menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan untuk Indonesia Raya.

Drama Musikal Khatulistiwa
Semangat Indonesia!

Ingat! Kita satu darah!

Jika pecah kita lemah,

Kita kuat jika bersatu

(Sultan Hasanuddin)

 

Salam

Indonesia Raya

33 thoughts on “Menembus Lorong Sejarah Lewat Drama Musikal Khatulistiwa

  1. Donna Imelda says:

    Lalu aku ngebayangin Prema dan Ibunya sepanjang pementasan. Anak pinter dan ibu yang perhatian. Tapi kerennya meski disambi ngeladenin cah bagus tetap aja detailnya dapat, tulisannya keren, Arni…
    Kapan-kapan pengen ketemu Prema euy.

    • waaaaa disamperin mbak Donna kesini rasanya aku melambung
      Jujur aja ini artikel foto2nya belum final. Entah kenapa aku gagal terus posting beberapa foto
      Dan tau-tau mbak Donna udah mampir. Makasi yaaaaaaa

      Kadang aku gak enak hati mbak menghadapi kritisnya Prema ditempat2 umum seperti itu, meskipun dia bertanya berbisik tapi tetap saja jarak khan berdekatan dengan penonton yang lain (ini juga berlaku di bioskop). Untungnya sejauh ini sih belum ada yang complain ya, malah biasanya usai pertunjukan ada aja penonton yang ngajak Prema ngobrol karena dengar dia komen melulu sepanjang nonton.
      Errr… itu emaknya kudu muter otak juga pas jawab pertanyaan, biar gak jadi pertanyaan baru yang bisa2 bikin emaknya kena skak mat hehe

      Jadi, kapan kita kopdar tante Donna?

  2. Shanti says:

    Mbok Putu, terimakasih review nya. Tulisanmu apik bener Mbak. Terharu aku ditulis sampe segitu detail nya.
    Titip salam buat Prema ganteng ya mbok… :*

  3. Dina Mardiana says:

    Aku juga ikut geregetan di babak pertama karena semua pahlawan kita kalo nggak mati karena ditembak ya ditangkap sama pasukan Belanda. Rasanya, gemeeesss… 😀

    • Nah kudu toss nih sama Prema
      Tapi memang iya sih, babak pertama itu menampilkan sisi heroik tapi “lupa” memberi sedikit saja kemenangan untuk pasukan nusantara
      Jadi kesannya kalah melulu ya, padahal dari sekian banyak perang yang meletus pastinya ada bagian dimana Belanda berhasil dipukul mundur. Makanya cah bagus saya bolak balik nanya jadinya hehe

      • Sebenernya yang terjadi bukan tembak2an trus kalah. Latar belakang masy. Indonesia ini tu super ramah. Keberhasilan Belanda menjajah kita tu 80% mental. Mereka menggunakan keloyalan masyarakat kita pada pemimpin dan pada tanah. Kalau ada perang besar justru prajuritnya bukan orang Belanda totok. Beberapa tentara bayaran dari berbagai bangsa jajahannya bahkan dari masyarakat kita sendiri.

  4. Wuoooo aku jadi pingin nonton… Tapi penyakitku kalo nonton,baca yang berhubungan sama sejarah mesti ngubung2in ama fakta yang terjadi… Well kalau ga ada hiperbola ga bakal menarik kan…. Hihi tapi serius aku blm pernah nonton drama yang berlatar sejarah

  5. geLintang says:

    Aku geli bagian si adek nanyain “Kapan Indonesianya menang?”
    Emang ya kalo anak2 pengennya buru2 ke ending yang happy *inget masa anak2 suka nggak sabaran kalo filmnya nggak selesai2 trus endingnya nggak happy*

    • Lho dirimu gak sempet nonton to
      Kirain ikut liputan yang bareng2 blogger itu
      Wah sayang udah lewat, tapi emang bener, ini dramanya bagus banget deh
      Semoga tahun2 depan ada lagi yang seperti ini

  6. Dewi Nielsen says:

    Disini sering mbak ada drama musikal, tapi aku belum pernah datengi satupun, karena seringnya malem banget..Jadi pengen lihat pertunjukan kayak gini.. Dari cara mbak ngejelasin enak banget.

    • Kayaknya Jogja mah sdm nya memadai banget buat bikin drama musikal, secara seniman hebat2 banyak disana
      Atau mungkin sudah pernah hanya infonya gak rame kali ya

    • Mudah2an nanti di Malang juga ada
      Tapi memang buat satu pertunjukan saja, effortnya luar biasa nih. Salah satu temenku ikut di drama musikal ini, latihannya berbulan2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *