Kendari, kota kecil tanah kelahiran saya meyimpan banyak pesona tersembunyi. Wisata alamnya yang cantik masih banyak yang belum terekspose. Seperti halnya daerah-daerah lain di Timur Indonesia, pantai-pantainya selalu menjanjikan pemandangan indah yang mengundang para penikmat alam untuk mengunjunginya.
Pulau Bokori salah satunya.
Sudah lama saya berniat mengunjungi pulau yang satu ini. Sejak beberapa tahun terakhir, kawan-kawan di Kendari sering sekali mengunggah foto-foto cantik pulau ini di media sosial. Sukses bikin saya mupeng berat pengen kesana. Sebenarnya, Bokori bukanlah tempat wisata baru. Jaman saya masih di Kendari dulu, nama Pulau ini sudah sering terdengar kok, sudah jadi tempat kunjungan wisata juga. Tapi memang masih terbatas karena aksesnya yang sulit.
Dulu, mendengar kata Bokori saja, rasanya seperti membicarakan sebuah tempat yang sangat jauh, terpencil dan nyaris tak terjangkau. Lagipula, dulu perkembangan dunia pariwisata belum sepesat saat ini, dimana sekarang hampir setiap daerah berlomba-lomba memperlihatkan keindahan alamnya. Hampir semua tempat disulap menjadi tempat wisata nan cantik. Instagramable, begitu katanya.
Bokori juga tak ketinggalan berbenah diri. Pulau yang secara administratif masuk dalam Kecamatan Soropia, menjadi salah satu pulau cantik Tanjung Soropia ini berhadapan langsung dengan perkampungan Suku Bajo. Dulunya, Pulau Bokori ditempati oleh Suku Bajo. Namun karena perkembangan penduduknya yang terus bertambah, oleh Pemerintah Daerah setempat, Suku Bajo ini kemudian dipindahkan ke daratan, menempati 5 desa di sepanjang pantai Tanjung Soropia yaitu Desa Leppe, Desa Bajo Indah, Desa Mekar, Desa Bajoe dan Desa Bokori.
Pemindahan ini, membuat Pulau Bokori menjadi ‘kosong’ dan nyaris tak terdengar lagi namanya. Apalagi ditambah abrasi pantainya yang berlangsung terus menerus. Sampai kemudian sekitar 4 tahun terakhir, Pemda setempat kembali ‘menghidupkannya’. Reklamasi dilakukan, cottage-cottage mulai dibangun, akses dan transportasi diperbaiki. Gongnya bergema di tahun 2015, saat diadakan Festival Bokori 2015 merupakan langkah awal memperkenalkan Pulau Bokori sebagai destinasi wisata baru di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Tak berhenti sampai disitu, beberapa kali juga diadakan acara-acara resmi di Pulau ini, termasuk diantaranya menggelar upacara 17 Agustus yang melibatkan Pemerintah Daerah dan Sekolah-sekolah di sekitarnya. Menarik. Hingga kini, Bokori tampak terus berbenah diri, bersolek serupa perempuan cantik yang menghadirkan pesona dan memikat wisatawan untuk berkunjung. Bolehlah.
Menuju Pulau Bokori
Ada beberapa jalur menuju Pulau Bokori, yang semuanya tetap berujung dengan menyebrangi lautan. Gak lama kok nyebrangnya tapi ya lumayan bikin deg-degan. Apalagi kalau tak bisa berenang dan tanpa life jacket atau pelampung. Hmm… agak ngeri-ngeri sedap rasanya.
Kami berangkat siang hari. Sekitar jam 1 siang dari Kota Kendari. Pilihannya menuju Soropia dengan pertimbangan waktu penyebrangan yang lebih singkat. Hanya saja memang kapal yang tersedia berupa perahu-perahu kecil milik penduduk setempat. Katinting namanya. Berbeda dengan pelabuhan di sisi lainnya, untuk rombongan yang lebih besar dengan kapal ikan yang juga jauh lebih besar.
Err… sebenarnya sih kami juga gak sengaja memilih kesini sih. Awalnya, kami berangkat dari rumah untuk ke Pantai Toronipa, berada dalam satu jalur dengan Bokori, tapi tak pakai menyebrang karena adanya tepat di Tanjung Soropia. Di tengah perjalanan, saat tiba di Kampung Bajo, kami berubah pikiran, sepertinya cuaca cukup cerah, jadi kami memutuskan untuk berhenti di salah satu Pelabuhan penyebrangan dan menyewa Katinting menuju Pulau Bokori.
Bapak Bahrin, pemilik Katinting menawarkan harga Rp. 200.000,- PP untuk seluruh rombongan kami yang terdiri dari 7 dewasa, 1 anak-anak dan 2 balita. Cukup masuk akal harganya. Pun dia siap menghubungi pengelola cottage di Bokori agar kami bisa menempati salah satu gazebo nantinya disana, untuk ini kami juga menyewa seharga Rp. 100.000,- ditambah penyewaan tikar Rp. 25.000,-
Yak. Berangkat.
“Ibu, ini seru sekali ya. Kita petualangan!” Prema berseru senang begitu kami mulai melintasi lautan menuju Bokori.
Berkali-kali kami mengambil foto berlatar belekang Pulau Bokori. Iya, jaraknya memang dekat sekali. Dari pelabuhan tempat kami bertolak, Pulau Bokori terlihat jelas. Kami hanya butuh berlayar sekitar 10 menit saja. Selain Pulau Bokori, terlihat ada restoran terapung yang sedang dibangun diantara daratan ini. Sepertinya bakalan menarik banget itu, mau makan ke restoran, pakai acara nyebrang naik kapal terlebih dahulu. Ah, semoga kapan-kapan saya sempat mencobanya.
Suasana Pulau Bokori
Kami ke Bokori pada tanggal 2 Januari 2018. Sehari setelah tahun baru. Menurut Dewi, pengasuh dua keponakan saya, yang kemarinnya baru saja berlibur bersama teman-temannya ke Pulau ini, pada saat tahun baru disini penuh sekali. Berjubel pengunjungnya, hingga untuk sekedar mandi di pantaipun nyaris tak ada tempat. Cottage dan Gazebo penuh. Pulau Bokori berubah menjadi lautan manusia dan terasa tak nyaman. Saat kami kesana sehari kemudian, suasana masih ramai, tapi lagi-lagi menurut Dewi, sudah sangat jauh berkurang dibanding sehari sebelumnya.
Fyuh syukurlah. Saya menarik nafas lega. Kalau terlalu ramai, tentunya tak nyaman. Satu hal yang bikin miris, keramaian sehari sebelumnya menyisakan banyak SAMPAH. Duuuuuh… sedih sekali melihat sampah-sampah yang berserakan. Di bibir pantai, di bawah pohon kelapa, di kolong-kolong gazebo, di teras-teras cottage. Dimana-mana. Sebagian besar berupa sampah plastik dan sisa pembungkus makanan dan minuman. Juga sisa-sisa tulang ikan yang sepertinya bekas pesta bakar-bakar ikan di malam tahun baru. Sedih. Miris.
Gak ada petugas kebersihankah?
Ada. Saya melihatnya. Di beberapa titik terlihat ada yang menyapu. Tapi sampahnya jauh lebih banyak. Apalagi, pengunjung terus berdatangan, yang lagi-lagi, menambah sampah. Hiks.
Semoga kedepannya urusan yang satu ini menjadi perhatian bagi pengelola. Begitupun para pengunjung. Bawa lagi sampahmu kawan. Jangan meninggalkan jejak kecuali kenangan dan foto-foto. Kalaupun tak sanggup membawa kembali, tempatkanlah di tempat sampah yang tersedia. Bukan dibiarkan berserakan dimana-mana.
Pulau ini cantik. Nyiur melambai di sudut-sudut Pulau menambah keindahannya. Berpasir putih dan halus. Ombaknya tak terlalu besar sehingga aman untuk berenang, bahkan untuk anak-anak. Di beberapa tempat terpasang peringatan, bahwa tak ada penjaga pantai sehingga pengawasan menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing pengunjung. Oh iya, jangan berenang terlalu dalam, konon katanya, masih banyak terdapat bulu babi disini.
Fasilitas Pulau Bokori
Sebagai destinasi wisata baru, tampak Pulau Bokori terus berbenah. Cukup banyak tersedia cottage dan Gazebo disana. Disewakan dan bisa menginap. Penerangan cukup memadai katanya. Meski tak ada penjaga pantai, tampaknya jika ada yang menginap pengelola pulau siap sedia disini. Kamar-kamar mandi untuk bilas dengan air tawar juga tersedia. Mereka mematok harga Rp. 10.000,- untuk seember air. Cukup mahal menurut saya. Tapi memang sih, “ini pulau, Bung!” air tawar tentunya susah didapatkan disini. Ya, hitung-hitung kita belajar menghemat air. Gimana caranyalah seember kecil cukup buat bilas usai berenang di pantai.
Untuk yang ingin bermain di pantai, tersedia juga fasilitas banana boat. Cukup banyak pengunjung yang memanfaatkan permainan ini. Saya, sukuplah jadi penonton saja. Seru menyaksikan pengunjung yang naik banana boat lalu di titik tertentu mereka tumpah ke air. Saya masih trauma, dulu, belasan tahun lalu, saya pernah kehilangan cincin tunangan saat naik banana boat, waktu itu di pantai Anyer saat gathering bersama teman-teman kantor.
Ou, belum ada restoran atau warung-warung makanan disini. Jadi, kalau tak mau kelaparan bawalah bekal. Ada sih, beberapa penjaja makanan keliling. Tapi itu juga gak rutin. Kebetulan kami berkunjung di musim liburan, sehingga ada penjaja makanan berupa sate pokea, gogos, jagung dan pisang rebus. Kalau berkunjungnya di hari normal, jangan harap bertemu pedagang disini. Bisa bertemu rombongan lain juga katanya sudah sesuatu banget. Pulau ini memang sunyi dihari-hari tertentu. Cocok buat yang ingin menepi dan menyepi.
Terjebak Hujan dan Badai di Bokori
Saat hari beranjak sore, kami masih berada di Bokori. Prema masih asyik berenang. Kami juga masih menikmati bekal bawaan. Sementara itu, beberapa rombongan pengunjung tampak sudah mulai berkemas-kemas. Mereka akan pulang. Sementara kami, berpikir pulangnya nanti pas mulai sunset, sepertinya akan menarik duduk di katinting dengan sinar hangat matahari terbenam menyelimuti.
Tapi……….
Rupanya semesta punya rencana lain. Langit tiba-tiba gelap. Di beberapa titik di seberang sana tampak hujan sudah mulai turun. Sementara awan gelap menggelayut tebal dan tampak semakin mendekat ke Pulau. Dari tempat kami duduk, langit terlihat seperti akan runtuh. Aih, ini tiba-tiba sekali. Hanya selang beberapa menit lalu langit tampak cerah.
Prema baru saja mulai makan. Sementara yang lainnya beberes barang bawaan. Kami melihat beberapa rombongan mulai satu persatu berlayar meninggalkan pulau. Sebentar lagi kami juga pulang. Rasanya mulai deg-degan melihat cuaca yang berubah tiba-tiba ini.
“Kita belum bisa pulang. Kalau nekat jalan sekarang, jadinya melawan arah angin. Itu bahaya. Lebih baik biarkan anginnya lewat dulu baru kita pulang,” Bapak Bahrin, pemilik perahu yang kami sewa datang menghampiri. “Lebih baik berteduh dulu, anginnya nanti kencang sekali disini,” lanjutnya.
Belum 5 menit Pak Bahrin bilang begitu, tiba-tiba angin laut datang menerpa. Kencang sekali. Menerbangkan segala yang ditemuinya. Pohon-pohon tampak miring. Saya memeluk Prema erat-erat. Rama, keponakan saya yang berusia 5 tahun dipeluk Mbah, ibu saya. Sementara Galih adiknya, dipeluk ibunya. Dan Ya Tuhan, ini pertama kali saya merasakan angin sekencang ini. Sejenak saya coba menoleh ke belakang, tampak angin bergulung-gulung datang dari arah lautan.
Kami berada di Gazebo. Sangat dekat dari bibir pantai, sekitar 10 meter. Hujan belum juga turun tapi kami semua sudah basah. Angin yang begitu kencang membawa butiran air laut menimpa kami. Rasanya kalau badan saya sedikit lebih ringan, saya bisa terbang terbawa angin.
Jujur, saya takut. Tapi harus tampak kuat. Kami semua diam, memeluk anak-anak. Menjaga barang bawaan. Tikar yang kami tempati nyaris terbang terbawa angin. Sekilas saya melihat, beberapa perahu yang tadi berlayar kembali berbalik arah. Mereka rupanya tak berani juga mengambil resiko.
Saya kemudian meminta suami untuk mencari tempat perlindungan yang lain. Yang tak terlalu terbuka seperti gazebo yang kami tempati ini. Tak jauh dari gazebo ini terdapat cottage yang sepertinya memiliki teras dan cukup terlindung dari angin. Kami kemudian pindah kesana, bersama serangan angin yang terasa menghantam punggung. Rupanya disana sudah ada rombongan lain yang sudah terlebih dahulu berlindung. Tak sampai 5 menit kami duduk diterasnya, hujan deras tiba-tiba turun. Leganya, kami sudah berada ditempat yang cukup aman. Pulau mulai gelap. Hanya ada beberapa lampu yang menyala.
Di cottage sebelah, saya melihat ada rombongan lain yang juga terjebak. Sejenak saya menarik nafas lega. Bukan, bukan mensyukuri keadaan ini. Tapi lega karena kami tak sendiri. Jujur saja setiap melihat ada lampu berkerlip-kerlip di laut yang datang mendekat, saya sedih, karena itu artinya ada rombongan lain yang akan berangkat duluan. Pulau kecil ini memang bisa ditinggalkan dari beberapa sisi, ke arah yang berbeda. Jika berlayar mengikuti arah angin, biasanya lebih aman sehingga beberapa perahu berani memutuskan untuk pulang. Sementara kami, pelabuhan yang akan kami tuju berada di arah yang melawan angin. Sehingga, harus menunggu hingga laut benar-benar tenang untuk bisa berlayar.
“Bisami kita pulang sekarang. Sudah nda ada angin. Hanya tinggal hujan saja,” Pak Bahrin datang menghampiri. Saya melirik jam tangan di pergelangan. Pukul 19.35 WITA. Itu artinya sudah satu jam lebih kami terjebak disini.
Bergegas kami bersiap. Rombongan yang berlindung bersama kami juga tampak sudah dijemput oleh Bapak tukang perahunya. Kami bersalaman, saling mendoakan keselamatan pelayaran masing-masing. Hujan masih turun. Tapi angin dan laut sudah terasa lebih tenang. Satu persatu kami naik ke atas perahu. Berjajar. Pelayaran dimulai. Dalam gelap. Kami semua diam. Sepertinya masing-masing dari kami sibuk melangitkan doa. Dalam hati. Hanya ada suara ibu saya yang memeluk Rama dan melantunkan doa-doa. Juga suara mesin perahu. Hujan terus turun. Meski perahu ini beratap, namun angin yang berhembus halus cukup untuk mengantarkan titik hujan ke tubuh kami. Sungguh, pelayaran yang hanya 10 menit terasa sangat sangat lama. Rasanya perahu tak beranjak. Rasanya kami begitu jauh dari daratan. Ya ampun, begini rasanya terombang ambing di lautan. Sekelebat berbagai adegan film muncul di benak. Ah, saya menepisnya jauh-jauh. Diam. Dan berdoa.
Kami tiba di daratan. Di tempat berbeda dengan keberangkatan. Menurut Bapak Bahrin, situasi tak memungkinkan untuk berlabuh disana, sehingga dia membawa kami ke tempat lain yang tak jauh dari tempat semula. Itupun tak benar-benar bisa merapat ke daratan, sehingga saat turun dari perahu, kami masih harus nyemplung sebentar baru kemudian naik ke darat. Tak apalah, yang penting kami sudah tiba dengan selamat.
Kami kemudian berpamitan pada Bapak Bahrin. Luar biasa, dibalik tubuh tuanya, Bapak ini begitu baik menjaga kami. Kami mempercayakan sepenuhnya pada kemampuan dia membaca cuaca dan mengendalikan perahu. Kalau dia mau nakal, bisa saja khan kami ditinggalkan di Pulau. Tapi itu tak dilakukannya. Dan kami juga tahu, ada keluarga yang sama cemasnya dengan kami menanti kepulangannya. Terimakasih Pak, kapan-kapan kalau ke Bokori lagi, kami hubungi ya.
Sungguh pengalaman tak terlupakan. Kami merasa begitu kecil. Tak ada apa-apanya di alam raya ini. Kalau Tuhan sudah berkehendak, kalau semesta sudah bergerak, maka buanglah jauh-jauh kesombongan kita. Tak ada gunanya. Kita hanya noktah kecil di semesta maha luas ini.
Pengalaman awal tahun yang penuh pelajaran dan renungan. Rupanya, di awal tahun, BMKG sudah mengeluarkan peringatan akan turunnya hujan deras, angin kencang dan air pasang di wilayah Kendari dan sekitarnya. Kami tak terlalu hirau karena memang saat berangkat siangnya cuaca begitu cerah. Siapa sangka, cuaca bisa berubah begitu tiba-tiba.
Kapok liburan ke Pulau? Err.. sepertinya tidak. Tapi besok-besok mungkin kami harus lebih siap dan memperhatikan peringatan BMKG.
Tips liburan ke Pulau Bokori :
- Sebaiknya berangkat dalam rombongan agar bisa sharing cost terutama untuk sewa kapal dan gazebo/cottage
- Pilih pelabuhan terdekat agar pelayaran tak terlalu lama dan jauh
- Perhatikan peringatan BMKG sebelum melakukan perjalanan. Tak perlu memaksakan diri ingin melihat sunset. Bicarakan baik-baik segala kemungkinan dengan tukang perahu yang mengantar
- Siapkan perbekalan makanan dan minuman yang cukup
- Cuaca di lokasi cukup panas. Siapkan sunblock sebagai perlindungan untuk kulit.
- Bawa obat-obatan pribadi untuk menjaga segala kemungkinan yang terjadi.
Selamat berlibur
Salam
Arni
aaaaaa aku juga pernah mampir ke bokori.. indah bangeeeet.. mau ksana lagi 😍😍😍😍
Yeaaay
Yuk kesana lagi mbak. Aku juga belum puas ekplore pulaunya nih
Oadahal mah sebenarnya setengah hari juga kelar nih kelilingan pualu kecil ini hehe
Saya bulan oktober 2017 lalu pernah ke Bokori waktu itu ada kegiatan di Sultra. Kebetulan kami singgah satu minggu di Kendari. Sy bersyukur bisa menikmati indahnya Bokori dari ajakan teman mongabay.
Wah udah duluan kesana rupanya
Lumayan lama juga sempat di kendari ya, mas
Indaaaahhhh banget ya mbaaaa
Moga2 suatu hari nanti aku bisa ke Bokori, aamiiin
Indaaah
Apalagi kalau cuaca cerah, pasti jauh lebih indah
Kalau pas mendung kayak pas aku kesana, rasanya ada aura-aura mistis gitu deh hehe
Cerita yang sangat lengkap. Ikut terbawa suasana saat badai tiba hingga perjalanan pulang. Nice post!
Terimakasih mas udah mampir
Cerita badai itu sekarang kalau diinget-inget masih bikin deg2an lho mas
Ah, aku pernah baca berita tentang pulau ini, yang katanya nyaris hilang persis yang diceritakan Mbok Putu. Dan aku ikut deg-degan baca bagian cuaca gak bersahabat. Seketika teringat pas nyeberang dari Tidore ke Ternate, Agustus lalu. Hujan deras, langit mendung, angin kencang, tapi aku kudu nyeberang karena sudah sore dan sudah booking kamar di Ternate. Itu kali pertama naik speedboat hujan-hujan dengan ombak goyang-goyang kenceng. Mana mesin speedboat sempat mati pulak! Omaigat 😀
Menarik nih main-main ke Bokori. Kendari juga sejak lama bikin penasaran karena dulu ada teman kos dari sini dan dia banyak cerita keindahan kotanya, juga wisata-wisata menarik di Sulawesi Tenggara.
Wuaaaaa kebayang suasananya mas
Aku yang hanya berlayar dalam gelap dan hujan aja udah deg-degan apalagi kalau sampai mati mesin di tengah laut, bisa pingsan aku saking takutnya huhuu
Ayo mas ke Kendari
Iya. Setiap kali wisata ke pulau, selalu was-was tentang cuaca. Makanya nggak pernah berani sunset di pulau (kecuali kalau sekalian menginap). Tapi untung masih bisa pulang dengan selamat.
Nah bener mbak. memang enaknya kalau ke pulau itu sekalian aja nginep ya. Jadi gak perlu was-was saat pulang dalam gelap
Ah nanti diulang deh ke Bokorinya. Bareng yuk
Indah tempatnya, sayang sampahnya ya. Moga petugas kebersihannya ditambah jadi pantainya makin ok. Tapi ya kudu diedukasi jg pengunjungnya buat jagain pantainya.
Lama tak ke pantai eui pengen banget ngajak anak maen pasir juga. Terakhir main pasir di taman yg di Pasar Minggu hahha
Iya sampahnya itu gak banget deh
Pokoknya sepulau-pulau sejauh mata memandang sampah dimana-mana
Efek acara tahun baru
Mudah2an sih sekarang udah bersih
Wahhh langitnya mendung syahduuu 😍😍
Keren banget tempatnya. Seru jg jadinya rombongan dengan keluarga 🙂
Mendung syahdu dan bikin ngeri-ngeri sedaaaaap
Kalau cuaca cerah berasa bahagia banget bareng keluarga
Tapi kalau badai gitu, jujur aja terbersit rasa khawatir dan bersalah ngajak bapak ibu + ibu mertua dan anak balita
Mba Arni, aku pengen teriak histeris boleh? Ini sumpah, cakep banget.
Semoga cerita traveling seperti ini bisa mengobati kekecewaan saya karena tidak bisa jalan-jalan huhuhu.
Hahaha teriak mbak teriaaaak
Mau ditemenin teriaknya gak?
aku ampir salah baca judul, aku kira mbak arni hampir hilang 😀
Pantainya fotogenic banget, pasti indah saat pagi atau sore hari ketika sunset/sunrise
Ya ampun keren amat itu pulau dan pantainya..masih alami. Saya baru kali ini dengar nama Pulau Bokori 🙂
Setuju banget Mbak, harus cek perkiraan cuaca sebelum cuaca. Di apps weather kan suka ada tuh sampai berapa hari ke depan, jadi paling tidak bisa jaga-jaga..
Hehe itulah mbak. Kami agak teledor pas berangkat, gak pakai cek-cek prakiraan cuaca
Pede jaya karena siangnya cuaca super duper cerah
Takjub banget dengan keindahan Sultra sekarang, jauuhh banget perkembangannya.
Saya orang Sultra mba, tapi di Buton.
Besar di sana meski lahirnya di Manado.
Wisata alamnya top banget dah di sana, cuman emang perilaku sadar menjaga kelestarian alam masih tetep kurang yaa..
Tugas generasi muda nih, untuk mengedukasi orang2 sepertu itu.
Wah kita sama-sama dari Sultra ya mbak
Kalau saya sekarang terdampar di Bogor. Terimakasih banyak ya sudah mampir
Untung pemdanya menghidupkan kembali ya, Mbak. Sayang kan kalau pulau secantik itu beneran menghilang. Tpai, persoalan sampah memang dimana-mana. Masyarakat harus terus disadarkan akan hal ini
Iya mbak. Duh kalau uda berhubungan dengan sampah, selalu bikin geregetan. Sudah jadi kebiasaan turun temurun hiks
Wah senangnya yang sudah pada pernah pergi ke sana, sayang aku masih banyak kesibukan jadi belum bisa tinggalkan Jakarta.