Liburan Sekolah, ke Sekolah STOVIA Aja, Yuk!


Museum Kebangkitan Nasional STOVIA

“Prema, malam ini gak boleh begadang ya.  Besok pagi-pagi kita mau ke Jakarta.  Ada acara seru di Museum Kebangkitan Nasional,” pesan saya di Jumat malam ke Prema.  Selama masa liburan ini  memang kami agak longgar urusan jam tidur, karena pagi gak sekolah, Prema jadi bisa bangun lebih siang

“What! Ke museum lagi?” tanya prema kaget.

Selama liburan panjang ini, Prema memang kami ajak keliling ke museum-museum.  Awal bulan lalu ke Museum Manusia Purba Sangiran di Sragen.  Lalu dua minggu lalu ke Munasain (Museum Sejarah Alam Nasional Indonesia) di Bogor.  Awal pekan lalu ke Museum Zoologi di Bogor dan akhir pekan (lagi-lagi) ke Museum Kebangkitan Nasional.  Jadi wajar saja dia kaget.  Mabok museum.  Haha.

“Emang ada apa saja di sana?” penasaran juga dia.

Gegas saya membuka google.  Mencari foto-foto Museum Kebangkitan Nasional dan menunjukkannya ke Prema. “Ini museumnya beda dengan yang pernah kita datangi dulu-dulu.  Kalau di sini banyak alat-alat kedokteran.  Khan dulu bekas sekolah dokter.  Ada ruang belajarnya juga.  Kayak gini lho,” kata saya sembari menunjukkannya pada Prema

Nanti di sana ketemu banyak teman baru juga.  Ada acara yang diadain kakak-kakak Mochi Museum.  Pokoknya pasti seru deh.  Mau khan?”

“Tapi janji ya… acaranya seru,” katanya lagi

“Aahsiyaaaap, bos!”

Museum Kebangkitan Nasional STOVIA
Atas dan bawah : Halaman museum yang terawat rapi Tengah : Tampak depan museum

Jelajah Museum Kebangkitan Nasional

Pagi-pagi kami sudah bersiap berangkat.  Maklum, acara di Jakarta, rumah di Bogor.  Untungnya kalau Sabtu, arah Jakarta tol cukup lancar.  Tak seperti hari di hari kerja.  Kami urung naik kereta, seperti rencana awal, karena di hari Jumat kaki saya terkena insiden tertimpa pintu lemari di kamar Prema yang berujung jari-jari kaki bengkak dan jalan pincang.

“Ealaaaah… ini to museumnya.  Dulu khan kita sering lewat depan sini,” Komentar pertama saya saat kami tiba, yang mendapat anggukan kepala dari suami.

Kami baru pertama kali ke museum ini.  Teringat dulu waktu masih di Jakarta, jalur depan museum beberapa kali kami lewati dan belum tergerak untuk mampir. Ternyata semesta akhirnya membawa kami ke sini.

Tiket masuk museum sangat murah.  Hanya Rp 2000,- untuk dewasa dan Rp. 1000,- untuk anak-anak.  Bayangkan jauh lebih murah dari harga seporsi cilok yang biasa mangkal di depan museum.  Semurah ini tapi  sedihnya, museum ini sepi sekali.  Tak banyak orang yang berkunjung, sangat jauh berbeda dengan keramaian di mall atau tempat wisata lainnya.

Kakak-kakak dari Mochi Museum yang menggagas kegiatan hari itu sudah hadir dan sedang menyiapkan acara.  Di halaman museum terlihat sekelompok remaja yang sedang belajar bersama.  Beberapa anak peserta kegiatan hari itu sudah datang.  Sebagian sudah saling kenal.  Total ada 15 anak yang menjadi peserta.

Museum Kebangkitan Nasional STOVIA

Museum Kebangkitan Nasional STOVIA

Kak Vesti dan kak Bintang, memandu acara yang diawali dengan perkenalan.  Baik mengenalkan kakak-kakak panitia maupun sesama peserta.  Hati saya hangat melihat senyum mereka.  Binar mata ceria dan senyum polos malu-malu khas  anak-anak.  Semua bisa berbaur dengan semangat yang sama.

Petualangan segera dimulai setelah perkenalan.  Setiap anak mendapatkan lembaran tugas yang harus diisi selama perjalanan menuju pos-pos yang telah ditentukan.  Mengunjungi ruang-ruang bersejarah yang masing-masing punya cerita.  Melihat berbagai peralatan kedokteran di masa lalu antara lain alat rontgen, stetoskop, tas dokter, dan aneka peralatan lainnya termasuk ruang-ruang kelas untuk belajar.

“Kenapa kepalanya harus dipecahkan? Khan Sakit trus orangnya bisa mati dong!” tanya seorang anak ketika kami menemukan sebuah alat besar yang dalam keterangannya tertulis “Alat Pemecah Kepala”

“Iya, memang jaman dulu seperti itu.  Untuk melihat penyakitnya dan mencari tau cara mengobatinya.  Yang dipecahkan memang orang yang sudah meninggal.  Buat pelajaran agar penyakit yang sama bisa dicegah dan tidak kena ke orang lain,” jelas kak Bintang

Museum Kebangkitan Nasional STOVIA

Yang menarik, di salah satu ruangan juga ada “Boteka” tempat penyimpanan obat tradisional.  Bentuknya cantik sekali dengan ornament ukiran disisinya.  Sepertinya ini milik para bangsawan.  Juga bisa kita temui peralatan membuat jamu tradisional.  Bisa jadi sampai sekarang pengolahan jamu masih pakai alat begini deh.

Ini cara belajar sejarah yang asyik.  Bukan sekedar teori-teori dalam ruang kelas, tapi langsung melihat dan praktek.  Anak-anak ini antusias sekali.

Selain peralatan kedokteran, di sisi lain gedung terdapat ruangan yang menceritakan sejarah kebangkitan nasional yang ditandai dengan berdirinya organisasi pemuda Boedi Oetomo.  Ada sebuah ruang yang membuat saya berdiri cukup lama di sana.  Dengan peta Indonesia super besar di salah satu dindingnya lalu disekitarnya dilengkapi sejarah nama-nama pulau di Indonesia bahkan asal mula nama Indonesia itu sendiri.  Ah, belajar sejarah memang mengasyikkan.

Museum Kebangkitan Nasional STOVIA
Peta Indonesia di salah satu dinding

Mengenal Sejarah Museum Kebangkitan Nasional /Stovia

Sembari berkeliling, anak-anak mendapatkan pelajaran tentang sejarah museum ini.  Dahulu bernama Stovia (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen) atau Sekolah Dokter Bumi Putera yang dibangun pada tahun 1899 di atas lahan seluas 15.742 m2.  Luas sekali ya.  Dengan kaki saya yang bengkak, lumayan berasa juga klo harus ngiderin sekeliling museum ini.  Bentuk gedung Stovia menyerupai tangsi militer, karena semua perencanaan dan pembangunannya dilakukan oleh Korps Zeni Militer.  Bahkan asrama para siswa juga tampak mirip dengan barak-barak tentara.

Dahulu, hanya orang-orang Belandalah yang menjadi dokter ataupun tenaga kesehatan di Indonesia.  Mewabahnya berbagai penyakit menular (tipes, kolera, disentri dll) yang tersebar di Banyumas dan Purwokerto pada 1847, membuat para dokter Belanda kewalahan karena jumlah mereka sangat terbatas. Begitupun melalui pengobatan tradisional yang telah ada pada masa itu.  Dr. W. Bosch, Kepala Jawatan Kesehatan pada waktu itu kemudian mengusulkan untuk mendidik beberapa anak Bumi Putera menjadi asisten dokter Belanda.

Saya termangu menatap foto-foto dan keterangan yang tertera di dinding-dinding ruangan.  Mencoba membayangkan situasi di tahun-tahun tersebut.  Belanda, mereka memang menjajah.  Tapi sisi baiknya, mereka membawa ilmu pengetahuan.  Bisa jadi karena mereka memang berniat berkuasa, sehingga merekapun membangun system yang lengkap.  Pemerintahan, sekolah, rumah sakit dll sebagaimana layaknya sebuah daerah yang berkembang.  Ah, saya tak mau berandai-andai terlalu jauh.  Biarlah masa lalu menjadi pelajaran untuk kita yang menjadi penerus bangsa ini.

Baca juga : Ujung Perjalanan, Melipir ke Pulau Cipir

Lanjut cerita sejarah ya…

Pada tahun 1849, ditetapkan bahwa di rumah sakit militer akan dididik 30 pemuda Jawa yang pandai menulis dan membaca bahasa Melayu dan Jawa untuk menjadi dokter pribumi dan “vaccinateur” (mantri cacar).  Dengan semacam ikatan dinas bahwa usai pendidikan mereka harus bersedia di kirim ke berbagai daerah untuk bertugas sebagai mantri cacar.

Tindak lanjut keputusan ini, pada Januari 1851 didirikan Sekolah Dokter Jawa di Rumah Sakit Militer Weltevreden dengan masa pendidikan 2 tahun.  Ada 12 orang pemuda Jawa yang direkrut untuk benar-benar belajar cara mencacar dan memberikan pertolongan pertama pada penderita sakit panas dan sakit perut.

Museum Kebangkitan Nasional STOVIA
Ini lho Boteka. Alat penyimpan obat tradisonal di masa lalu
Museum Kebangkitan Nasional STOVIA
Beberapa alat kedokteran di STOVIA

Dalam perkembangannya, jumlah siswa terus bertambah bahkan ada yang dari luar Jawa seperti Minangkabau dan Sulawesi.  Begitupun masa pendidikan yang bertambah menjadi 3 tahun bahkan di tahun 1875 menjadi 7 tahun.  Hadirnya para mantri yang merangkap dokter sipil ini juga menimbulakan pro kontra di kalangan dokter Belanda sendiri, yang membuat pemerintah Hindia Belanda bahkan sempat mencabut kewenangan praktek dokternya dan kembali menjadi mantri cacar saja.

“Duuh… Belanda iki ora konsisten yo,”

Museum Kebangkitan Nasional STOVIA
Xray Illuminator yang digunakan untuk melihat hasil rontgen di masa lalu
Museum Kebangkitan Nasional STOVIA
Alat-alat kedoteran masa lalu dengan dr. H. F. Rool, penggagas berdirinya STOVIA sebagai latar belakangnya

Meski ada pro kontra, dr. H. F. Rool yang waktu itu menjabat sebagai Direktur Sekolah Dokter Jawa mengusulkan dibangunnya gedung baru yang lebih lengkap  untuk mendidik para pemuda bumi putera menjadi dokter yang lebih ahli.  Pembangunan ini mendapat bantuan dari para pengusaha Belanda.  Gedung baru ini sudah siap digunakan pada bulan September 1901, namun di Betawi terjadi wabah beri-beri dan kolera yang juga banyak menimpa para pelajar Sekolah Dokter Jawa sehingga pemindahan ke gedung baru tertunda dan akhirnya diresmikan pada 1 Maret 1902 dengan nama STOVIA.

Hadirnya STOVIA menandai berakhirnya Sekolah Dokter Jawa.  Di STOVIA, para pelajar harus tinggal dalam asrama dengan disiplin dan tanggung jawab yang ketat.  Masa belajar juga bertambah menjadi 9 tahun.  Duuuh… lamanya.  Bener-bener ngelotok ini ilmunya dah.  Pantesan aja dokter-dokter jaman dulu itu pinter-pinter banget ya.  Belajarnya aja sampai begini lho.

Museum Kebangkitan Nasional STOVIA
Salah satu ruang pamer. Perhatikan deh tulisan di atas itu. Hati saya hangat membacanya

Selain disiplin ketat, mereka juga terikat perjanjian (acte van verband) yang menyatakan kesediaan untuk dinas pemerintahan selama 10 tahun dan siap ditempatkan dimana saja.  Pelanggaran terhadap perjanjian ini akan dikenakan sanksi berupa pengembalian biaya pendidikan selama 9 tahun itu.  Lulusannya tak lagi bergelar Dokter Djawa tapi menjadi Inlandsche Arts (Dokter Bumiputera).

Huaaaa berat sekali syarat menjadi dokter pada masa itu.

Tapi gak melulu belajar kok.  Di STOVIA juga dilengkapi dengan fasilitas olahraga, kesenian dan pendidikan yang cukup lengkap.  Lapangan tenis, gymnastic, gamelan, biola dan berbagai alat music lainnya menjadi hiburan para pelajar kala sore hari.  Bahkan laboratorium, peralatan medis dan perpustakaannya juga sama dengan fasilitas di sekolah kedokteran Eropa.  Pokoknya, sekolah ini sangatlah mewah pada masanya.   Hanya para pemuda pilihan yang bisa masuk ke sini.

Perjalanan STOVIA sebagai sekolah kedokteran masih panjang.  Seiring dengan berdirinya rumah sakit Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting di Salemba pada tahun 1919 yang dipimpin oleh Dr. Hulskoff (Sekarang RSCM), para pelajar STOVIA kemudian lebih banyak praktek langsung di rumah saki tersebut sampai kemudian hampir seluruh kegiatan STOVIA berpindah ke Salemba yang sekarang dikenal sebagai Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Teman-teman pasti tak asing dengan nama Dr. Wahidin Sudirohusodo.  Nah, beliau ini adalah salah satu lulusan terbaik STOVIA yang juga merupakan salah satu tokoh pendiri organisasi pemuda pertama yaitu Boedi Oetomo yang berdiri pada 20 Mei 1908.  Hingga saat ini, tanggal 20 Mei ditetapkan sebagai hari Kebangkitan Nasional.   Jadi, tak salah dong ya tempat ini sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional, mengingat memang organisasi Boedi Oetomo ini memang berawal dari STOVIA.

Lalu apa kabar gedung STOVIA yang ditinggalkan?  Gedung ini sempat dijadikan tempat pendidikan MULO (setingkat SMP) dan Sekolah Asisten Apoteker.  Sempat terbengkalai pada awal-awal kemerdekaan Indonesia, kemudian dipugar oleh pemerintah lalu ditetapkan Gedung Kebangkitan Nasional yang akhirnya sekarang kita kenal sebagai Museum Kebangkitan Nasional.

Pelajaran Sejarah Usai, Saatnya Membuat Prakarya

Teng teng teng teng….

Bel tanda pelajaran selesai sudah berbunyi.  Anak-anak kembali ke aula untuk kegiatan selanjutnya.  Hayooo pasti ada yang senyum nih.  Beneran kok,  di STOVIA ini ada bel di dinding.  Pagi hari saat mulai belajar sejarah, bel ini juga dibunyikan oleh kak Bolang, salah satu kakak dari Mochi Museum.

Museum Kebangkitan Nasional STOVIA
Serius membuat prakarya

Setelah istirahat sejenak, acara dilanjutkan dengan membahas jawaban dari lembar pertanyaan yang dibagi di awal pelajaran pagi tadi.  Yeaay semuanya pinter-pinter.  Jawabannya benar semua.  Dari sini acara berganti dengan membuat prakarya.  Kali ini anak-anak diajarkan membuat kipas dan kerangka tangan.  Selain melatih ketekunan, kegiatan ini tentunya melatih motorik kasar dan halus.  Prakaryanya bisa dibawa pulang lho.  Asyiiik… ada oleh-olehnya.

Museum Kebangkitan Nasional STOVIA
Foto bareng seluruh peserta Semoga kelak semua menjadi penerus bangsa yang hebat dan sukses

Meski  hanya beberapa jam saja, ‘sekolah’ di STOVIA pastinya berkesan banget anak-anak ini.  Apalagi di awal saat ditanya cita-cita beberapa anak menjawab ingin menjadi dokter.  Terimakasih kakak-kakak Mochi Museum yang sudah menggagas acara seru ini.  Mengajak adik-adik untuk belajar sejarah dengan cara yang asyik dan menarik.  Mengajak mencintai museum sebagai tempat belajar.  Dan pastinya meramaikan museum yang kadang kurang diminati sebagai tempat kunjungan saat liburan.  Buat yang penasaran sama event seru Mochi lainnya, silakan langsung aja kepoin instagramnya di @mochimuseum dan dapatkan info menariknya.

Ayo ke Museum

Salam

Arni

36 thoughts on “Liburan Sekolah, ke Sekolah STOVIA Aja, Yuk!

  1. Seru mbak liburannya, biasanya orang tua memilihkan taman hiburan untuk liburan anaknya Tapi Mbak Erni memilih museum sebagai hiburan sekaligus media pembelajaran.

    Memang yah pengelola museum itu sekarang harus kreatif, jadi museum bukan hanya untuk tempat peninggalan barang sejarah tapi juga sebagai tempat untuk berkreativitas

    • Terimakasih mas. Sejujurnya saya sedih setiap kali ke museum, pengunjungnya sedikit hiks

      Semoga ke depannya minat masyarakat untuk main ke museum makin besar

  2. Daku udah masuk ke Museum Kebangkitan Nasional, STOVIA, hanya saja berbeda sama Kak Rani dan Prema, masuknya daku gak bayar, sebab kebetulan pas ada event di sana hihi, alhamdulillah jadi sekalian kelilingan

  3. Hani S. says:

    Liburan edukatif seperti ini seru sekaligus bermanfaat jangka panjang menurutku. Anak-Anak bisa lebih memahami perjuangan Pahlawan zaman dulu termasuk Para dokter ya. Pasti akan menambah kecintaan dan siapa tahu cita2 mereka pun jadi bertambah, hihi.
    Makasih infonya ya Mba, mau kesana juga ah ajakin Krucils :))

  4. Asik banget ini, mengisi liburan dengan bermain ke museum. Aku pernah kesini untuk pemotretan liputan di media yang aku handle saat itu. Kala itu merupakan pertama kali aku main kesini dan takjub sambil mendengarkan cerita bapak yang menemani kami dari ruang ke ruang.

  5. Masa liburan Prema berfaedah banget, ya. Asik banget. Jalan-jalannya dari museum ke museum.

    Anak-anak saya kurang jalan-jalan ke museum karena saya sempat gak sreg. Dulu, bayangan saya ‘kan museum itu kumuh dan terkesan agak spooky. Makanya, saya malas ajak anak-anak. Tapi, kalau museum zaman sekarang kayaknya banyak yang mulai bebenah. Udah gitu ada guide yang membantu menjelaskan

  6. Ya Allah murah yaaa tiket masuknya, huhuhu, agak seneng tapi miris gmn haha. Tapi moga terawat museumnya ya. Jd pengen ke sana juga. Asyek buka di Hari Sabtu, bisa nih bawa rombongan sirkus ke sana. Biar anak2 belajar ttg dokter2 dan pelajar di masa dulu 😀

    • Muraaaah banget. Kayaknya hanya sekedar formalitas deh beli tiket itu
      Udah semurah itu aja, tetep gak mampu menarik pengunjung. Sedih khan?

  7. Belum ke museum ini, kapan hari malah ke Museum Sumpah pemuda. Biaya masuknya sama, 2000 dan 1000 juga. Nah, kalau pas ada acara kayak gini asyik juga ya. Jadi anak-anak gak bosen. Kemarin pas di Museum Sumpah Pemuda, si najib yang agak bosen. Kalau Najwa sih udah mulai seneng. Prema juga pasti excited banget di sana. Apalagi pas ada event kan, seruuuu, berasa ada di jama Stovia, hehe

  8. Wisata edukasi jelahsh museum serum juga ya mba, selain anaknya yg belajar, ibunya punya jadi ikuut tau ya. Jujur ana Aku ripe yg Santa t amat jarang ke museum pdhl dr museum byk wawasan yg bs didapat ya

  9. Murah banget tiket masuknya yaa Kak, tapi walau semurah itu masih sepi juga. Salah satu penyebab museum selalu sepi mungkin karena museum identik dengan barang-barang kuno

  10. Mbak, berarti karena ada guide-nya harus bayar, begitu kah ya?
    Btw museum ini cocok banget buat anak-anak yang punya mimpi jadi dokter, nih.
    Nice review mb.
    Jadi pingun mampir kalo ke Jkt

Leave a Reply to Arni Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *