Selamat Pagi! Dari Titik Nol Yogyakarta Kami Menyapa

“Ibu-ibu cantik. Rencana besok pagi kita jalan jam 5 pakaian olahraga, jalan pagi cantik di Malioboro. Siap action ya…”

Pesan di atas saya terima di WA dari bu Dewi Edam, ibu yang selalu energik dan penuh ide. Dikirim sehari sebelum keberangkatan kami ke Yogyakarta untuk menari dalam rangka Abhiseka Siwa Grha 1166 Candi Prambanan. Pesan yang langsung saya sambut dengan senyuman manis membayangkan bakalan seru banget nanti di Yogya, sejak hari pertama.

Benar saja. Kami tiba di Yogya sekitar pukul 4.30 pagi dan langsung check in hotel lalu masuk kamar masing-masing. Lanjut tidurkah? Ou tentu tidak. Hanya sempat  taroh barang, membasuh muka biar gak kuyu, langsung kembali ke bis, menuju titik nol Yogyakarta.

“Ayo cepat ibu-ibu. Sampai di lokasi nanti gak boleh lelet ya. Foto-foto cantik, bikin yang seru. Jam 9 sudah harus balik ke hotel untuk mulai rias!”

Ahahahaha…. hari pertama udah heboh aja. Padahal malamnya pada begadang karaokean. Entah jam berapa kami benar-benar baru tertidur. Rasanya malah gak pada tidur nyenyak deh, masih banyak yang asyik ngobrol juga. Plus beberapa kali mampir di rest area untuk buang air kecil. Tapi ya gitu, kalau urusan narsis, ibu-ibu mah gak ada lawaaan. Pasti langsung on fire semua!

Mengenal Kawasan Titik Nol Yogyakarta

Berkali-kali ke Yogyakarta, saya itu baru ngeh kalau titik nol atau pusat kota Yogyakarta ternyata di perempatan yang merupakan pertemuan  Jalan A.Dahlan, Jalan senopati, Jalan A.Yani dan Jalan menuju Alun-alun Utara.  Selama ini saya mengira titik nol itu adalah Tugu Jogja atau Tugu Pal Putih. Bahkan dulu saya pernah berpikir titik nol Yogya itu adalah Kraton. Ternyata saya salah pemirsa.

Titik Nol Kilometer merupakan titik pusat garis imajiner antara  Gunung Merapi, Keraton Ngayogyakarta, dan Laut Selatan yang jika dilihat dari ketinggian terbentang sebagai satu garis lurus. Kawasan ini sangat strategis sebagai pusat aktivitas masyarakat dan wisatawan terutama terkait aktivitas budaya dan pariwisata.  Di sekitarnya juga menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan.

Titik Nol juga dikelilingi banyak bangunan bersejarah.  Dua yang tampak paling besar adalah kantor Pos Indonesia dan Gedung BNI. Bangunan-bangunan kuno ini biasa disebut loji. Dari sini, sangat dekat menuju Malioboro, Pasar Beringharjo dan tempat-tempat wisata lainnya. Baik wisata belanja maupun wisata sejarah.

Kantor Pos Indonesia

Membaca beberapa tulisan tentan sejarah kawasan ini membuat saya berdecak kagum. Betapa sejak dulu banget, Yogyakarta sudah dibangun dengan konsep tata ruang yang sangat cermat dan penuh filosofi. Sri Sultan Hamengku Buwono I penggagasnya.  Selain garis imajiner, Yogyakarta juga memiliki sumbu filosofis yang menghubungkan Tugu, Keraton dan Panggung Krapyak yang melambangkan kesimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan lingkungannya. Wah, ini sama dengan salah satu konsep ajaran Hindu yaitu Tri Hita Karana (Parahyangan, Pawongan, Palemahan).

Saya menatap sekeliling. Sungguh, bangunan masa lampau yang usianya sudah ratusan tahun itu berdiri begitu gagah dan mengagumkan. Terlihat masih sangat kokoh, tak lekang dimakan waktu. Di sisi Selatan, ada kantor Bank BNI. Pada masanya dulu, gedung ini merupakan Kantor Asuransi Nill Maattschappij dan Kantor de Javasche Bank. Sedangkan lantai bawahnya, pada zaman Jepang digunakan sebagai Kantor Radio Hoso Kyoku. Pada saat awal-awal kemerdekaan, digunakan sebagai Studio siaran Radio Mataram yang dikenal dengan nama Mavro.

Gedung BNI

Di seberang Bank BNI, tepatnya di sebelah Timur, ada Kantor Pos Besar Yogyakarta.  Gedung  ini memang sejak jaman Belanda berfungsi sama sebagai Kantor Pos, telegraf, dan telepon. Lalu ada Kantor Perwakilan Bank Indonesia, dulunya merupakan Kantor de Indische Bank.

Selain itu, di kawasan ini juga ada bangunan yang halamannya menempati area paling luas yaitu dari Keraton hingga Tugu Jogja, yaitu Istana Kepresidenan  Gedung Agung yang berdiri megah sejak tahun 1832. Pada zaman Belanda, gedung ini adalah tempat tinggal residen dan Gubernur Belanda di Yogyakarta. Pada zaman Jepang, menjadi kediaman resmi penguasa Jepang, Koochi Zimmukyoku. Di awal kemerdekaan Indonesia, saat Yogyakarta menjadi ibukota Republik Indonesia, pada periode 1946 – 1949 gedung ini menjadi kediaman resmi Ir. Soekarno, Presiden pertama Indonesia. Hingga saat ini, Gedung Agung merupakan salah satu Istana Presiden RI di luar Jakarta. Sungguh gedung yang menjadi saksi sejarah perjalanan bangsa.

Tepat di depan Gedung Agung berdiri benteng Vredeburg yang dibangun pada tahun 1760, lalu disempurnakan pada 1787  yang awalnya diberi nama Benteng Rustenburg, artinya benteng peristirahatan. Saat terjadi gempa besar di tahun 1867, benteng ini sempat rusak berat lalu dipugar kembali sesuai aslinya kemudian diberi nama Benteng Vredeburg yang artinya Benteng Perdamaian.

Masih banyak bangunan-bangunan bersejarah lainnya di kawasan ini. Ada Gedung Societet de Vereeniging atau Balai pertemuan yang dikenal masyarakat Yogyakarta dengan nama Balai Mataram., ada Monumen Serangan Umum, ada bekas toko barang impor NV Toko Europe, dll.  Semua tentu punya cerita yang luar biasa.

Ah… sayang sekali, waktu kami sangat singkat. Sudah harus kembali ke hotel untuk berhias.  Rasanya kaki saya ingin sekali menyusuri perempatan penuh cerita ini. Dari ujung ke ujung. Sembari membayangkan suasana masa lampau.  Saya ingin melihat bagian dalam Benteng yang jadi Museum, ingin coba-coba ngirim surat di Kantor Pos besar itu, sesuatu yang sudah sangat langka di era digital ini. Saya ingin lebih lama menikmati Titik Nol Yogyakarta.  Suatu hari, saya akan kembali. Kapan hari saya baca di parentsquads.com banyak tempat wisata baru di Yogya. Dan rasanya waktu 3 hari dengan jadwal acara yang padat gak bakalan bisa dikunjungi semua deh. Memang benar-benar harus diagendakan untuk kembali ke kota ini.

Baca juga : Ke Yogyakarta Aku Akan kembali

Dari Titik Nol, kita bisa kemana aja. Petunjuk arahnya jelas

Kehebohan di Titik Nol

Nah, bagian ini pasti udah bisa dibayangkan ya.  Begitu turun dari bis dan menyusuri jalan di antara Kantor Pos dan BNI, kami sudah dilihat-lihatin orang deh. Mungkin karena kaminya berisik, atau bisa jadi karena outfit yang kami kenakan. Hari itu kami memakai outer army, bertopi putih yang disponsori oleh bu Dewi, lalu dengan percaya diri asyik berfoto ria di seputar kawasan ini.

Hari kerja gaes. Itu hari Jumat. Denyut kehidupan dan kesibukan di Kota Yogya mulai terasa. Jalanan cukup ramai, orang-orang berangkat kerja, anak-anak sekolah menuju tempat menuntut ilmu dan beragam kepentingan lainnya. Sementara kami, sibuk foto-foto cantik menyapa kota gudeg ini di pagi hari. Err… agak norak sih ya. Tapi gak apa-apa. Norak-norak bergembira ini judulnya. Untungnya karena hari kerja, yang ramai ya jalanannya sedangkan lokasi ngumpul, nongkrong, duduk cantik dan narsis ini tak begitu ramai. Mungkin saat sore, malam hari atau akhir pekan kawasan ini bisa jadi penuh pengunjung.

Yogyakarta selalu punya pesona. Kunjungan saya yang terakhir sebelum sesi menari ini adalah ketika liburan keluarga saat orang tua masih lengkap. Kala itu bersama Bapak Ibu, Adik saya sekeluarga dan tentu saja keluarga kecil saya, kami menikmati kota Yogya yang ramah ini. Kembali ke sini, apalagi saat ke Prambanan ingatan saya melayang pada kenangan itu. Masa yang tak akan terulang, karena Bapak sudah lebih dulu pulang ke pemilik abadinya. Jujur saja, berkali-kali saya mellow selama di Yogya. Sekelebat kenangan selalu saja tiba-tiba melintas. Doa terbaik untuk Bapak…

Jiah khan malah jadi ngelantur. Sebelum saya beneran nangis, saya tutup saja cerita ini. Meskipun akhirnya bukan olahraga pagi, tapi kami tetap mengucapkan “Selamat pagi Yogyakarta, dari titik nol kami menyapa”.

Salam

Arni

17 thoughts on “Selamat Pagi! Dari Titik Nol Yogyakarta Kami Menyapa

  1. hua lihat ini bikin saya kangen untuk berkunjung segera ke Jogja lagi kak, memang semengangenkan itu ya Jogja, termasuk nongki cantik di 0 KM, bersama teman-teman seru banget itu

  2. Nurul Mutiara R.A says:

    Aihhh, aku jadi kangen Jogja gegara baca postingan Mba Arni. Udah lama gak menjejak kesana, kayaknya udah banyak perubahan ya?

  3. Yogyakarta selalu ngangenin. Saya punya banyak kenangan unik dan konyol di Yogyakarta. Itu lihat gedung BNI jadi ingat saya dan rombongan cuma gogoleran di ATM nya numpang ngadem AC saja. Hahaha…

  4. Fenni Bungsu says:

    Foto kantor posnya dari jauh seperti itu serasa lagi ada di Kota Tua Jakarta hehe. Mirip ya.
    Semoga bisa kesempatan lagi ke Yogya biar sekalian mampir ke destinasi ini

  5. Wah ngelihat foto-foto kakak ada di jogja jadi buka2 hape nih ngeliat juga foto2 saya pas di jogja.. Jadi kangen jogja karena pernah juga adu nasib di kota itu.. penuh kenangan >_<

  6. Baca tulisan ini jadi kangen Jogja. Terakhir ke Jogja 2019 sih. Cuma gak mampir ke Titik Nol. Lebih banyak eksplorasi candi dan pantai kemarin tu aku. Next kalo ada umur dan kesempatan lagi ke Jogja, mau juga foto² di Titik Nol.. hehehe

  7. gemaulani says:

    Kupikir juga gitu mba sebelum baca artikel ini. Kirain titik nol tuh Tugu Jogja. Eh ternyata Titik Nol Kilometer ini titik pusat garis imajiner antara Gunung Merapi, Keraton Ngayogyakarta, dan Laut Selatan ya. Itu gedung kantor pos Indonesia Jogja bangunannya ikonik banget. Jadul tapi terawat

  8. Ayu Natih Widhiarini says:

    paling suka jalan di pedestrian Maliboro yang sekarang udah makin kece yaa mba, habis itu berburu batik di Pasar Beringharjo.

    Ah, jadi kangen Yogyakarta

  9. Ngehahaha, ini mah titik favorit sejuta umat kalau ke Jogja deh kayaknya. Aku sama temen2 waktu tahun 2020 ke Jogja juga ngabisi sunset di sini, seru, damai dan selalu ada alasan balik ke Jogja

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *