Romansa Dalam Keindahan Gunung Papandayan

Kaki-kaki melangkah tertatih, menapak jalur berbatu. Sembari bertukar kisah satu dengan lainnya, wajah ceria penuh semangat terpancar jelas. Sebuah awal yang manis, untuk perjalanan tak terduga di depan sana

Mentari masih berselimut awan di ruang peraduannya ketika kendaraan yang kami tumpangi memasuki wilayah Papandayan.  Udara dingin menusuk tulang, menyapu tiap lapisan kulit begitu pintu kendaraan dibuka. Brrrr… gigil langsung menyerbu. Di sisi lain, semangat langsung menyala. Siap untuk sebuah petualangan baru, menoreh jejak di Gunung Papandayan nan menawan.

“Kita istirahat dulu sebentar di sini. Yang mau ke toilet, bersih-bersih, ngangetin badan atau cari sarapan silakan langsung aja ke warung di depan sana. Jam 5 nanti kita siap-siap naik ke Menara Pandang untuk melihat sunrise,” Mas Tirto, pemandu perjalanan kami, memberi instruksi.

Saya kemudian membangunkan Prema yang tertidur nyenyak di bangku belakang.  Sedikit memaksa, karena di udara dingin ini memang harus bergerak. Lalu, memesan teh panas untuk menghangatkan badan. Ah, memang paling pas minum yang panas di saat seperti ini. Saya juga coba nyomot gorengan, tapi astagaaa…. serasa makan makanan dari kulkas. Dingin banget. Haduuuh!

Ujung-ujungnya adalah makanan sejuta umat. Indomie kuah + telur. Hahaha.

Selayang Pandang Gunung Papandayan

Tak kenal maka tak sayang. Sebelum mendaki Gunung Papandayan, kenalan dululah biar gak penasaran. Gunung Papandayan adalah gunung api stratovolcano yang terdapat di Garut, Jawa Barat. Berada pada ketinggian 2665 mdpl. Topografinya curam, berbukit dan agak terjal. Meski begitu, jalur pendakiannya rapi dan tertata.  Cukup landai dan aman untuk segala usia. Bahkan pendaki pemula sekalipun.

Berdasarkan catatan sejarah, Gunung Papandayan sudah beberapa kali meletus antara lain pada 12 Agustus 1772, 11 Maret 1923, 15 Agustus 1942, dan yang terakhir 11 November 2002. Letusan terbesarnya terjadi pada 1772 yang menghancurkan sedikitnya 40 desa di sekitar gunung dan menewaskan 2957 orang.  Di luar letusan-letusan besarnya, di beberapa titik juga kerap terjadi erupsi kecil ataupun letusan-letusan lumpur di kawahnya. Namanya juga gunung berapi yang masih aktif ya.

Aktifnya gunung berapi ini ditandai dengan kepulan asap  beraroma belerang dari kawah-kawah yang banyak terdapat di tebing-tebing gunung. Meski begitu, kawasan ini cukup aman untuk beraktivitas wisata alam. Hamparan lereng gersang karena panasnya suhu gunung di satu sisi bersanding indah dengan warna hijau khas hutan pegunungan di sisi lainnya. Sungguh pemandangan yang sangat kontras dan memanjakan mata.

Baca juga : Berkencan dengan bintang-bintang di Camping Ground Curug seribu

Jelajah Gunung Papandayan 2 hari 1 malam

Usai menuntaskan panggilan alam dan segala derivasinya, kami siap-siap bergerak. Ou, sekedar info, untuk perjalanan kali ini kami memilih ikut trip bersama yang dipandu oleh Travelmeter Tour Agency. Jadi sejak di titik kumpul UKI, Cawang kami sudah langsung dipandu oleh tim dari Travelmeter (Mas Tirto, Mas Arga, Mbak Amel dengan jasa pemandu local, Kang Asep).  Saat trekking pun kami hanya membawa barang seperlunya, tas kecil berisi keperluan penting sepanjang perjalanan.  Carrier dan barang lainnya diangkut ke lokasi camping oleh porter.

Saya berasa santai banget deh pokoknya. Waktu packing di rumahpun hanya menyiapkan kebutuhan pribadi saja. Gak ada deh bawa kompor, panci, tenda dll. Pun gak banyak bawa cemilan, bahan makanan dan air minum karena sepanjang jalur pendakian banyak warung-warung yang dikelola oleh penduduk setempat. Mau ke toilet? Aman banget. Toilet bersih tersedia di beberapa titik.

Well, petualangan dimulai!

Prema in action

Menara Pandang

Seperti yang disampaikan Mas Tirto saat kami baru tiba, bahwa perjalanan dimulai dari Menara Pandang. Lokasinya tepat di depan area parkir. Di sini kita bisa memandang sekeliling dari ketinggian. Melihat asap kawah yang mengepul, gunung nan hijau sekaligus menerka-nerka jalur pendakian yang ditempuh nantinya.

Masih pagi banget, tapi urusan narsis tetap saja on fire

Dari sini, kami juga menikmati sunrise. Menanti hadirnya Sang Surya sebagai pembuka hari. Sayangnya, cuaca sedikit mendung hingga saat matahari muncul, sinarnya sudah ambyar, tak lagi bulat. Meski begitu, tetap menghadirkan jingga yang cantik sekali.  Momen yang pas untuk mengambil gambar sekaligus berkenalan dengan para  peserta trip.

Jalur Trekking Area Kawah

Dari Menara Pandang, kami turun menuju Pos 4  Gunung Papandayan yang merupakan start awal jalur pendakian. Treknya masih landai dan berupa jalan aspal.  Setelah jalan aspal, kami memasuki area kawah. Jalur pendakian mulai berbatu dengan elevasi yang tidak terlalu curam.

Kami siap bertualang di Papandayan

Makin ke atas, kepulan asap sulfatara yang berasal dari kawah makin terlihat jelas dan tebal.  Arahnya tergantung hembusan angin.  Sesekali, kami harus menepi kala bapak-bapak pengendara motor lewat, mereka adalah para porter  yang bertugas membawa barang-barang milik pengunjung.  Kalau kira-kira merasa diri tidak kuat nanjak, bapak-bapak porter itu juga bisa sekaligus ngojekin lho.

Selama melintasi jalur kawah ini, sejauh mata memandang hanya keindahan yang terlihat.  Gersang memang, tapi tetap cantik dan menarik. Jalur pendakian yang cukup curam di beberapa titik menjadi terasa ringan karena suguhan panorama yang memesona.

Suasana trek Ghober Hoet

Jalur Hijau Menuju Ghober Hoet

Usai melintas area kawah, kami tiba di Pos 7. Beristirahat sejenak, mengisi energi yang terkuras selama pendakian awal.  Ada warung di sini. Aneka gorengan, lontong dan semangkanya yang manis seakan memanggil untuk dimakan. Bahkan ada kelapa muda juga lho. Sayang saya tak sempat nyobain, tapi kebayang dong perjuangan abang penjualnya yang nganggutin kelapa muda dari bawah sampai ke Pos 7 ini. 

Dari sini, ada dua jalur yang bisa dipilih untuk menuju lokasi camping di Pondok Salada. Ada yang landai melalui Ghober Hoet, ada juga jalan pintas yang curam melintasi hutan mati.  Kami memilih jalur kanan yang mengantarkan kami ke Ghober Hoet.  Trek ini bervariasi sekali. Kadang mendaki, kadang bergerak menuruni lembah. Pemandangan juga berbeda dengan sebelumnya yang begitu gersang, kali ini kita disuguhi pemandangan hijau. Vegetasinya mulai beragam, mulai dari pohon cantigi yang cantik hingga semak belukar khas jalur hutan.  

Sunrise di Ghober Hoet

Sebenarnya di Ghober Hoet ini juga ada camping ground tapi kami tidak camping di sini. Numpang lewat dan istirahat sejenak saja. Ou, kami juga kembali ke Ghober Hoet keesokan harinya untuk menyaksikan detik-detik hadirnya sinar ilahi. Yes, besoknya kami berangkat subuh dari tenda menuju Ghober Hoet untuk menyambut sunrise.  Cukup beruntung kali ini, meski awalnya sempat tertutup awan, tapi rupanya semesta sedang berpihak pada kami. Si bulat raksasa hadir di ufuk timur, membuka fajar dengan sinar keemasan lalu perlahan benderang memberi kehangatan pada tubuh kami yang terasa membeku semalaman akibat suhu dingin di Pondok Saladah. Indah sekali.

Baca juga : Camping Sembari Mencari Harta Karun

Kebersamaan di Pondok Saladah

Setelah pendakian yang cukup panjang, dengan pemandangan indah luar biasa dan berkali-kali berhenti, beristirahat sembari narsis sana-sini, akhirnya kami tiba di Pondok Saladah, lokasi camping kami.  Tenda-tenda kami sudah berbaris rapi di sini, tepat di depan warung Kang Asep. Lokasi yang sangat strategis, kami jadi gampang buat jajan hahaha.  Carrier bawaan kami juga sudah lebih dulu tiba. Kami langsung berbagi tenda dan merapikan barang bawaan. 

Selain warung Kang Asep, ada juga warung-warung lainnya yang dikelola oleh warga lokal. Meski berada di gunung, harga makanannya masih normal kok. Fasilitas sanitasi juga tersedia, dengan air pegunungan yang terus mengalir. Jangan tanya seberapa dingin airnya, baru nyentuh kulit saja rasanya aliran darah langsung membeku. Juga terdapat mushola, pos penjagaan untuk update informasi, juga sumber air bersih yang bisa digunakan untuk memasak saat camping di sini.

Berada di ketinggian 2320 mdpl, suhu di Pondok Saladah terasa dingin padahal cuaca cukup cerah. Angin berhembus lembut, membelai kulit.  Ah, rasanya kami butuh asupan yang hangat. Melirik ke warung, ternyata istri Kang Asep menjual bubur kacang hijau. Ah, pas banget. Semangkuk bubur yang lezat di ketinggian Gunung Papandayan, nikmat sekali.

Waktu menunjukkan pukul 10.30, saatnya bersantai. Sebagian peserta memilih beristirahat dalam tenda. Prema dan Ayah bahkan tertidur nyenyak. Wah, sejujurnya saya iri melihat mereka berdua bisa lelap begitu cepat. Pengennya ikut tidur, tapi ternyata tak mudah. Jadi ya, mari menikmati suasana Pondok Saladah saja. Makin siang, suasana makin ramai. Para pendaki berdatangan. Baik yang sekedar lewat maupun yang mendirikan tenda.  Bahkan banyak yang datang bersama anak kecil, balita juga bayi dalam gendongan. Luar biasa, takjub saya.

“Makan siangnya sedang disiapkan. Nanti makannya di warung ya. Setelah makan siang, kita istirahat sebentar. Jam 3 nanti kita jalan ke Taman Edelweiss dan Hutan Mati. Semoga nanti tidak hujan,” Mas Tirto kembali memberi pengumuman.

Berada di Pondok Saladah, rupanya kami memang harus menepi sejenak dari hiruk pikuk di luar sana. Juga menjauh dari media sosial yang riuh. Tak ada sinyal di sini. Sebagian teman-teman mendadak jadi pejuang sinyal, untuk memberi kabar pada keluarga di rumah, sampai manjat-manjat pohon segala. Saya cukup beruntung, naik gunungnya bareng anak dan suami, jadi gak wajib berkabar ke rumah. Masih bisa anteng meski tanpa sinyal. Jadi saya mengisi waktu dengan ngobrol-ngobrol bersama teman lainnya.

Jelang sore, kabut mulai turun. Puncak Gunung mulai tak terlihat.  Agak was-was juga jadinya. Syukurlah semesta berbaik hati, hari kembali cerah. Kami lantas bersiap untuk petualangan sore menuju Taman Edelweiss dan Hutan Mati.

Cantiknya Taman Edelweiss

Tadinya saya pikir lokasi taman edelweiss itu jauh. Ternyata, tepat di belakang tenda kami. Astagaaa. Tahu gitu dari tadi aja main-main ke sini sepuasnya. Yang jauh itu kalau mainnya ke Tegal Alun, puncak pendakian tertinggi di Papandayan yang memiliki hamparan edelweiss seluas 35 ha. Merupakan kawasan konservasi dan cagar alam di bawah pengelolaan BBKSDA Jawa Barat, sehingga untuk memasukinya wajib mengantongi surat ijin masuk kawasan konservasi (SIMAKSI).

Edelweiss (Anaphalis Javanica) atau dikenal juga dengan nama bunga Senduro, merupakan tumbuhan endemik zona alpine/montana yang terdapat di dataran tinggi dan saat ini dikategorikan sebagai tumbuhan langka. Karena itu, keberadaannya dilindungi dan tidak boleh dipetik sembarangan.

Di Indonesia, bunga edelweiss pertama kali ditemukan oleh seorang naturalis berkebangsaan Jerman bernama George Carl Reinwardt pada tahun 1819 di lereng Gunung gede. Edelweiss dalam bahasa Jerman berarti mulia dan berwarna putih.

Kami beruntung datang di waktu yang tepat. Saat bunga-bunganya sebagian besar bermekaran. Karena ternyata, edelweiss ini tidak mekar sepanjang waktu. Biasanya banyak antara bulan April – September. Pas banget, kami datang di bulan Juni. Saat sebagian besar bunga mekar dan menebar aroma yang wangi.

Romansa Taman Edelweiss

Bisa menghidu aroma edelweiss secara langsung seperti ini serasa mewujudkan mimpi yang tertunda. Duluuuu banget, medio 1998, seorang kawan memberikan saya oleh-oleh edelweiss, sepulang dari pendakiannya di Gunung Gede. Terpesona pada keindahan dan kisahnya, sejak itu saya menyimpan mimpi agar suatu hari bisa melihat langsung pohonnya, menatap langsung keindahannya, di habitat aslinya, di puncak manapun itu. Ah, romansa. Dia memang seringkali datang tak terduga, hadir tanpa mengetuk pintu, tiba-tiba saja lalu menghangatkan hati dan menghadirkan senyum di bibir.

Eksotisnya Hutan Mati

Puas menikmati keindahan edelweiss dan membuat begitu banyak kenangan baru lewat foto dan video, kami beranjak menuju Hutan Mati. Melintas di area hijau dengan pohon-pohon cantigi yang tampak gagah, rasanya seperti melintasi hutan dalam film Lord of The Ring. Karena kanopi pepohonan yang cukup rapat, menjadikan jalur ini sedikit gelap dan “semriwing”. Kayaknya klo melintas sendirian di sini ngeri-ngeri sedap juga rasanya, apalagi buat penakut kayak saya. Untungnya kami berjalan dalam rombongan.

Tak begitu lama, kami kemudian sampai di hamparan yang sungguh-sungguh membuat saya takjub. Luar biasa sajian keindahan ciptaan Tuhan ini. Hutan Mati, lokasi paling ikonik di Gunung Papandayan. Jadi sebenarnya hutan mati ini awalnya adalah hutan hidup dengan pohon-pohon cantigi seperti yang kami lewati sebelumnya. Namun, akibat letusan pada 11 November 2002 area ini terkena aliran panas hingga terbakar dan menyisakan batang-batang pohon menghitam yang tetap kokoh berdiri hingga kini. Menyajikan pemandangan luar biasa indah dan mengagumkan. Lokasi ini bahkan disebut-sebut sebagai “Planet Mars di Bumi”.

Gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. Manusia mati meninggalkan nama. Biasanya quote itu berhenti sampai di sana saja. Tapi melihat ekotisnya hutan mati ini saya rasanya ini menambahkan satu kalimat lagi “Hutan Mati meninggalkan keindahan nan eksotis”

Seru-seruan di Hutan Mati

Bagaimana tidak, sejauh mata memandang, suasana yang begitu kontras terlihat di hadapan. Kayu-kayu hitam berdiri tegak di atas tanah berpasir yang berwarna putih. Inilah hamparan monokrom alami terluas yang pernah saya lihat. Yang unik, posisinya di tengah-tengah lereng gunung. Sementara bagian atasnya mulai hijau, menjadikannya makin indah memesona.

Jelang sore, kabut sempat turun perlahan, menutupi puncak gunung, lalu bergerak ke arah kami. Suasana syahdu langsung terasa. Jujur saja, sempat terasa agak horor juga sih. Tapi cepat-cepat saya tepis rasa itu. Buru-buru melangitkan doa dalam hati, agar kami semua diberi keselamatan. Sungguh, saya merasa kecil sekali berada di sini. Luar biasa semesta maha luas ini.

Hangatnya Api Unggun dan Drama Hilangnya Prema

Sebelum hari gelap, kami segera kembali ke Pondok Saladah. Menyiapkan diri menuju malam. Pak Anton kebetulan membawa gitar, maka sore menuju malam diisi dengan bernyanyi bersama. Wah segala macam lagu keluar sore itu. Asyik memang berdendang di suasana seperti ini. 

Maghrib tiba. Kawan-kawan muslim menjalankan sholat di Mushola. Kami sekeluarga juga sembahyang di dalam tenda. Setelahnya, panggilan santap malam datang dari warung Kang Asep. Sajian sup hangat yang lezat mengenyangkan kami. Lalu ditambah dengan wafel dan pisang bakar. Wah makin full saja rasanya perut kami.

Beberapa kelompok pendaki tampak sudah mulai menyalakan api unggun, kami pun demikian. Udara memang sangat dingin malam itu, paling cocok yang menghangatkan diri dengan api unggun. Kalau di Bali, ini disebut ngidu. Di Dieng ini disebut genenan. Entah apa sebutannya di Garut, yang penting kami dapat hangatnya.

Ada api unggun, tak lengkap dong tanpa musik.  Lagi-lagi kami bersenandung bersama. Asyik betul. Meihat ke langit, ribuan bintang tampak berkerlip. Sepertinya mala mini akan cerah, itu artinya makin malam udara akan makin dingin. Siap-siap dengan jacket tebal, kaos kaki dan tangan, dan segala perlengkapan perlindungan diri lainnya.

Tepat jam 10, kami membubarkan diri lalu masuk ke tenda masing-masing. Bergelung dalam sleeping bag tebal agar tak membeku dalam dinginnya malam. Beberapa kawan malah sudah tidur sejak tadi, mungkin kelelahan setelah perjalanan yang cukup panjang.

Sekitar pukul 2 dinihari, saya terjaga dan menyadari Prema tak ada di samping. Prema hilang. Saya panik. Buru-buru membangunkan suami, yang juga sama bingungnya mendapati Prema tak ada dalam tenda.  Kami lantas keluar dari tenda, yang begitu dibuka angin dingin menyambut tanpa kenal ampun. Entah berapa suhu malam ini, yang jelas amat sangat dingin rasanya.

Melihat sekeliling, tenda-tenda lainnya tampak sepi. Para penghuninya tertidur nyenyak. Melirik ke warung Kang Asep, ada beberapa pemuda sedang duduk melingkar mengelilingi api unggun. Tapi tak ada Prema di sana. Mengedarkan pandangan sembari memanggil pelan, jawaban terdengar dari warung yang lain. Prema duduk di depan api unggun, bersama beberapa orang ibu dan anak kecilnya. Sedang menghangatkan diri. Fyuuuh…

Rupanya, Prema terbangun dan menggigil kedinginan. Karena tak tahan, akhirnya keluar mencari api. Beruntung, warung-warung di sana memang menyediakan api unggun di salah satu sudutnya. Maka ke sanalah dia.  Lega rasanya karena semua aman. Akhirnya, kami juga ikut duduk di warung, menemani Prema sembari menikmati segelas teh panas dan semangkuk mie rebus. Hadeh, makan mie jam 2.30 dini hari. Apa kabar timbangan? Hahahaha

Kami kembali ke tenda sekitar pukul 3.30, melanjutkan tidur yang terjeda. Baru saja akan bermimpi, di luar sudah terdengar keramaian. Ah, sudah jelang fajar rupanya. Agenda subuh ini adalah ke Ghober Hoet menikmati sunrise. Prema yang masih mengantuk akhirnya memutuskan tidak ikut, tetap dalam tenda melanjutkan mimpinya.

Menuju Kawah Baru dan Sungai Biru

Hari cerah pagi ini. Semburat jingga di ufuk Timur perlahan naik dan benderang. Meski angin masih terasa dingin, tapi suhu udara perlahan meningkat. Beberapa teman tampak sudah tak mengenakan jacket lagi. Kembali ke tenda, saya memutuskan untuk mandi. Pssttt… sejak kemarin, kami tak ada yang mandi. Semalam sebelum tidur saya hanya mencuci muka dan menggosok gigi. Itu aja rasanya bibir dan pipi saya langsung kram dan ngilu saking dinginnya air. Tapi karena suhu sudah lebih bersahabat saya dan beberapa kawan, termasuk Prema memutuskan mandi sebelum nanti kami berjalan pulang.

Segar. Itu yang saya rasakan setelah mandi dan berganti pakaian. Setelah sarapan nasi goreng, kami mulai beres-beres barang bawaan. Sekali lagi, carrier ini tak kami gendong sendiri, serahkan pada mamang ojek yang mengantarkan menuju pos 3, tempat kami start kemarin. Bawa diri aja udah berat, jangan nambah beban lagi lah pakai gendong carrier hehe.

Jalur turun kembali melewati Taman Edelweiss dan Hutan Mati. Meski sudah ke sini kemari sorenya, tetap saja excited kembali lagi. Foto-foto lagi, seru-seruan lagi. Lanjut turun, rupanya jalur ini cukup terjal. Pantas saja kemarin saat nanjak kami diajak lewat Ghober Hoet, karena kalau mendaki lewat sini, rasanya bakalan banyak yang nyerah deh. Lagian kami memang berjalan santai, tak terburu-buru. Jadi memilih jalur yang lebih panjang.

Perjalanan kali ini tak langsung ke parkiran. Kami melipir menuju Kawah. Jadi kalau kemarin hanya bisa melihat asap-asap mengepul dari kejauhan, kali ini kami benar-benar menghampiri lokasi sumber asap tersebut. Melintasi jalur berbatu yang panjang, bertemu sungai mengalir yang airnya berwarna biru dan sampai ke kawah yang tepat di atasnya terdengar suara bergemuruh seperti air mendidih. Pertanda di dalamnya memang terjadi proses pemanasan dengan suhu tinggi.

Jujur, agak ngeri-ngeri sedap sebenarnya.

Saya tak bisa membayangkan berapa suhu di balik tebing berasap itu. Hanya berjarak kurang dari 10 meter dari tempat kami berdiri. Aroma belerang menyeruak memenuhi indera penciuman. Rasanya, tak boleh lama-lama di sini. Cukup tahu. Nikmati. Abadikan dalam gambar, lalu tinggalkan. Biarkan mereka berproses alami, sebagaimana seharusnya.

Papandayan, I’m in love

Perjalanan turun sedikit terasa lebih berat daripada mendaki. Saat naik, paha terasa pegal. Saat turun, lutut mulai menjerit karena menahan beban. Tapi tetap seru. Kalau kemarin kami belum terlalu saling mengenal, kali ini sudah lebih membaur dan lepas. Perjalanan turun terasa begitu ceria, semua saling jaga, saling mendukung.

Kebersamaan yang indah

Tak terasa kami akhirnya sampai di titik finish. Bersama kawna-kawan baru, merekam banyak kenangan dalam benak dan gadget, menyimpan banyak cerita untuk dikisahkan, mengukir romansa nan indah. Sebelum akhirnya beranjak pulang, berkali-kali saya kembali menatap ke belakang, melihat kembali jalur pendakian kami, mengucap terimakasih pada semesta yang begitu bersahabat sepanjang perjalanan kami, melangitkan doa agar keindahan ini tetap terjaga, lestari selamanya.

Beberapa kali camping, rasanya ini yang paling seru dan berkesan. Pendakian minimal, view maksimal. Trek yang sangat ramah untuk segala usia, tapi panoramanya gak kaleng-kaleng. Lengkap banget. Hijau ada, kawah ada, hutan ada, edelweiss ada, pokoknya semua ada. Kesan pertama yang begitu menggoda.

Papandayan, I’m in love

Salam

Arni

44 thoughts on “Romansa Dalam Keindahan Gunung Papandayan

  1. Masyaallah bagusnya, indah nian ciptaan Allah
    Kebayang dinginnya, secara 2300 lebih di atas permukaan laut
    Seru ya mbak bisa travelling bareng gitu, menepi sejenak dari hiruk pikuknya dunia

  2. Hani says:

    Wah…senengnya rame-rame gini engga kerasa capek. Apalagi perbekalan udah ada yg bawain, tendanya bagus dan apik. Bener-bener bisa bersyukur menikmati keagungan ciptaan Yang Maha Kuasa.
    Rencana ke gunung mana lagi nih?…
    Btw…Prema udah bujang, jangkung banget. Mbak Arni udah sekupingnya aja…hehe…

    • Iya mbak
      Ini pertamakalinya saya camping pakai EO
      Biasanya mah pribadi aja. Jadi bawa perlengkapan sendiri. Enak juga ternyata pake EO gini, jadi santai, aman dan nyaman

      Ou, Prema sekarang kelas 2 SMP
      Agak jangkung memang dia. Emaknya udah kesalip hehe

  3. Setiap mikir tentang pendakian, saya kira tak selalu ramah pada setiap orang. Ternyata ini beda, ya, Kak. Alam menyajikan panorama begitu indah. Menjaganya secara bijak adalah tanggung jawab bersama biar bisa dinikmati generasi selanjutnya.

  4. dilihat dari foto, hutan mati bagus juga ya mbak
    Aku ngebayangin dinginnya camping di gunung, udah pasti menggigil. Tapi kalau udah ketemu siang, viewnya cakepp

    sejauh itu ya mbak sampe ke puncak gunung papandayan, posnya banyak juga.
    Yang aku takutkan kalau naik gunung adalah serangan hipotermia.
    Aku pernah naik gunung ranti yang tetanggan sama Ijen, padahal di daerah Ijen aja udah dinginn pol, dan aku nekat naik gunugn ranti karena udah terlanjur sampe sana.
    Ampun-ampun naiknya hahaha, jadi pengalaman juga akhirnya

    • Masya Allah bagusnya pemandangan di Gunung Papandayan itu ya Kak.

      Keren-keren semua, paket lengkap. Ada yang mandu, ada diberi makan, diajak keliling foto-foto. Wah, jadi pengin banget kesana.

      Terima Kasih telah berbagi ya Kak, Semoga sehat selalu. Oh

  5. With wih wiiihhh… Seruuu sekaliii,, Makasih Mbak Arni sudah ajak aku berkenalan dengan Papandayan…
    Semenjak naik gunung Ijen, aku belum pernah naik gunung lagiii… huhuhu
    Oh ya aku Salfok sama tukang dagangnya.. sebanyak itu yak hihi enak gak harus bawa banyak bekal…

  6. Papandayan tetap menarik seperti yang saya tahu beberapa tahun yang lalu. Sebelumnya terima kasih sudah membawa saya jalan-jalan melalui cerita ini. Sekalian nostalgia berkegiatan alam khususnya mendaki. Pernah hampir ke Papandayan beberapa tahun yang lalu karena pingin berkunjung ke salah satu gunung di Jawa Barat. Selain pingin banget juga ke Gede Pangrango. Waktu cepat berlalu ya.

  7. Firdaus Deni Febriansyah says:

    Seru juga ya kak mendakinya, apalagi ada agency yang membantu. Serasa aman terutama bagi yang belum pernah mendaki sama sekali.

  8. Alfia D. Masyitoh says:

    MasyaAllah indah banget pemandangannya. Sungguh keagungan Tuhan di atas bumi Indonesia yang mungkin tidak ada negara lain. Jujur, saya kalau lihat orang muncak, mendaki gunung begini, jadi kepengen ikut merasakan sendiri. Padahal dari sini ke Semeru nggak jauh.

    Tapi saya sadar diri, fisik rasanya nggak mampu. Karena tipa yang gampang lelah, gampang drop, punya sesak napas juga. Daripada menjadi beban tim, lebih baik saya liat cerita orang-orang saja, hehe…

    Nggak nyangka Papandayan ternyata secantik itu ya. Sungguh ini pasti jadi pengalaman traveling sekaligus perjalanan spiritual yang berkesan. Menurut saya mendaki gunung itu termasuk salah satu pengalaman spiritual sih, karena benar2 bisa buat kita sadar tentang kebesaran Tuhan.

  9. whoaaa asiknyaaa trekking ke Papandayan. Cerita Mbak Arni yang detail membuatku membayangkan bisa gak yah bawa balita ke sana. Eh ternyata ada yang gendong anak juga. Masya Allah…

    trus… yang di IG mu itu ternyata di hutan mati yaa ceritanya ketemu suami, hahayyy

    btw, kalau pakai travel agent begini apa harus grup atau ada open trip dari mereka? buat beginner mending pakai pemandu begini deh yang udah mengerti wilayah sana.

  10. Ini akan jadi list pendakian unk pemula kayak akudeh mbak, pendakian minimal view maksimal ya. Tetep unk spot foto yang utama hehe
    Take me there, Papandayan😁

  11. Wih pemandangannya indah banget, apalagi kalau ramai-ramai seperti itu rasa capeknya walau agak jauh jadi serasa menyenangkan.Aku yang gak ikut tapi baca dari berangkat dari area parkir sampai ke puncaknya jadi berasa ikut muncak juga, pembawaan ceritanya ngena dan enak banget. But thanks untuk pengalamannya, sesekali boleh nih untuk mencoba sendiri ke Gunung Papandayan ini.

  12. Ah, selalu senang liat orang naik gunung. Seumur hidup baru sekali naik gunung dan agak kapok karena kaki gemetaran. Haha. Btw, edelweissnya cantik bangettt!!

  13. Sukaaaa banget sama Gunung Papandayan. Lansekapnya beragam ya, ada Hutan Mati sampai taman Bunga Edelweis.. 🙂 Kalau ajak anak-anak umur sekitar 8 tahun berarti bisa ya mba? Aman kalihatannya ya jalur trekking sama tempat kempingnya.. Pingin deh ajak anak-anak ke Papandayan juga… 😀

  14. Ya Allah, pengen banget main ke gunung gini. Tapi harus siap fisik ya. Semoga suatu saat kalo anak-anak sudah agak besar, bisa main ke gunung bareng sekeluarga. Kayaknya seru.

  15. Area hutan mati sepertinya menjadi salah spot yang paling ditunggu ya, Mbak. Banyak foto-foto wisatawan di area ini. Bagus-bagus fotonya. Dan, gunung Papandayan gak hanya punya view bagus. Tapi, termasuk ramah untuk pendaki pemula.

  16. Fenni Bungsu says:

    Gak apa-apa kak walau ujung²nya makan mie rebus dan telur, tapi memang cocok kok karena kan suasana di sana agak dingin yak, terus juga sambil melihat pemandangan indah Papandayan mah malah jadinya gereget bangets

  17. Wah, kereen..
    Aku kagum sama para hikers yang mendaki ribuan mdpl. Dan memang seindah ituu.. ya pemandangannya, pengalamannya hingga persahabatan yang terbentuk selama perjalanan.

    Aku cuman ke Hotel Papandayan Bandung.
    Huhuu…cemen banget ya..

  18. Paling seneng kalo ada lokasi wisata yang memiliki fasilitas yang memadai dan terawat rapi. Pengunjung jadi semakin nyaman dong. Oh ya… cakep banget ih itu sunrisenya, bikin tenang dan adeeemmmm aja bawaannya

  19. Baca tulisan ini bikin aku kepingin naik gunung lagi. Terakhir kali naik gunung pas kuliah, dan itupun nggak bisa betul-betul menikmati pemandangan karena naik gunung untuk tugas matkul. Kayanya kalau naik gunung emang paling enak makan mie rebus yaaa. Beda aja gitu rasanya.

  20. Whooaah.. Pas nyampe Ghober Hoet kok aku ikutan seneng yah, karna abis lewat yg gersang, trus liat yg ijo². Apalagi pas di Taman Edelweiss, aduh nggak kebayang itu harumnya kekmana. Beruntung kali kalian, Mbak.

  21. Paling suka dengan pegunungan yang masih aktif aktif gini, panorama pas udah dipuncak itu kontras dan manjain mata banget setelah lelah berjalan mendaki menuju puncak.

    Apalagi, kalo bareng beramai-ramai, duh, capeknya jadi gak kerasa pastinya. Berganti dengan riuh canda dan obrolan selama perjalanan.

    What a nice trip story Kak, jadi pengen ke Papandayan juga deh…

    Btw, mirip-mirip dengan Kawah Ijen Bondowoso ya kayaknya…

  22. Selalu takjub setiap melihat kegigihan para pecinta kegiatan hiking sedang beraksi. Sering ada rasa penasaran ingin mencoba juga.
    Menurut Kakak sebaiknya apa saja yang perlu dipersiapkan selain perlengkapan dan segi fisik?

  23. Udah lama bgt ga nanjak ke Papandayan. Terakhir kyknya 2013 deh yg menjadi awal aku suka ndaki gunung. Gara2 papandayan, aku jadi penasaran sm gunung2 lainnya. Mulai kangen lg nih abis baca tulisan ini. Mesti diagendakan kyknya. Haha

  24. Seru banget Mba Ani, apalagi bisa sekeluarga campingnya..Cakep dan lengkap benar nih jalur trekkingnya, view, kawah, edelweis, hutan dan kebersamaan. Yang hutan mati itu cakep banget, juga foto lainnya, apalagi modelnya tertawa lepas semua, wah saya ikut happy lihatnya.
    Bisa jadi ide camping nih ke Papandayan, pakai jasa tour agency saja biar memudahkan semua.

  25. Hidayah says:

    Seru banget kalo liat cerita para pendaki. Bisa jd transfer pengetahuan buat kaum-kaum kyk saya yang belom diizinin ndaki sm ortu, hehe. Padahal pengen banget ngerasain suasana pegunungan, kyk di Gunung Papandayan ini. Saya jenuh bgt di daerah pesisir terus, hehe

  26. Seru banget, Mbak! Kalau bareng tour agency khusus begini pasti aman ya bagi pendaki awam. Jadi kepengen euy. Dulu main ke gunung ya pas kuliah, itu pun cuma sampai ke tempat perkemahan aja yang masih agak di bawah >.<

  27. Bagus banget pemandangannya ya Allah. Pasti seneng banget ini, rame yakan yang ikut. Sering denger podcast tentang pendakian gitu. Dan pengin sesekali baik gunung. Keknya nanti perlu dicoba.

  28. Naik gunung memang selalu seru ya kak, apalagi kalau udah nyampe di atas bakal disuguhi keindahan pemandangan. Tantangan selama pendakian bakal terbayar sih, jadi pengen lebih tau banyak tentang gunung papandayan ini deh

  29. Liburan dengan nuansa dingin. Kalau Min Nikunews yang ke sana kudu siapin jaket banyak-banyak nih. Suka banget sama tempatnya nih. Banyak spot foto keren.Spot hutan mati memang ngingetin banget sama film Lord of The Rings ya..

  30. Masya Allah, cakep banget pemandangannya. Apalagi pas lihat taman Edelweisnya, bagus banget. Aku trus ngebayangin, masih kuat nggak ya ikutan naik gunung begitu? Tapi pas lihat, yang ikutan juga kayaknya udah usia nggak muda lagi.

  31. salah satu rencana saya yang belum kesampaian adalah mengajak anak-anak camping tapi kayaknya nggak ke gunung soalnya saya nggak kuat trekking. hehe. gunung papandayan ini berarti masih aktif ya, mbak? indah banget ya pemandangannya terutama yang hutan mati itu

  32. Salut aku sama Mbak Arni sekeluarga yang sering liburan naik gunung, aku sebenarnya pas bujang dulu juga suka naik gunung tapi hanya level Gunung Panderman yang keciil. Pengin sebenarnya ngajak keluarga naik gunung tapi life skill di alam bebas kurang jadi pengin ikut trip bareng-bareng kayak Mbak Arni.
    Aku paling terkesan di bagian Hutan Mati, kontrasnya kondisi hutan mati dengan background hutan yang masih hijau itu keren banget di foto, berasa di dua dunia yang berbeda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *