Tari Rejang ; Sebuah Persembahan Tanda Cinta Pada Sang Pencipta

Halo Sahabat ngiringmelali.

Tari Rejang Renteng

Kali ini kita cerita ragam budaya ya,   karena melali itu khan bukan hanya soal wisata alam, tapi juga wisata budaya, wisata kuliner, wisata religi dan lain-lain.

Bali, bukan saja dikenal karena alamnya yang indah tapi juga dengan seni budayanya yang begitu melekat dalam setiap aspek kehidupan masyarakatnya.  Aneka upacara adat keagamaan digelar untuk merayakan, memperingati dan persembahan pada semesta, pada Sang Pencipta.  Wujud rasa syukur dan terimakasih atas segala anugrah yang diberikan.  Tari-tarian salah satunya.  Hadir serupa denyut nadi dalam kehidupan masyarakatnya.  Di setiap tempat, di setiap desa, di bale banjar, Pura bahkan rumah-rumah pribadi, tari Bali hadir diiringi dengan musiknya yang khas.

Bapak Ibu saya orang Bali yang merantau nun jauh di Kendari, Sulawesi Tenggara.  Saya lahir dan besar di Kendari, kemudian saat ini menetap di Bogor.  Meski jauh dari Bali, sejak kecil orang tua tetap mengenalkan saya dengan tari Bali.  Agar tak lupa akar budaya katanya.  Meskipun saya juga tetap belajar malulo, tari persahabatan khas Kendari.  Pun demikian dengan orang-orang Bali di daerah lainnya, dimanapun berada tari Bali tetap ikut berkembang, termasuk di Bogor, tempat saya menetap saat ini, bersanding dengan aneka tarian daerah lainya.

Tari adalah bentuk ekspresi estetika manusia, yang terbentuk dari dinamika budaya lokal yang mengiringinya.  Musik, gerakan, fungsi dan maknanya tentu saja berbeda di daerah satu dan daerah lainnya.  Umumnya tarian tercipta dari hasil perenungan mendalam para seniman, perwujudan imajinasi, pengamatan alam, gerak semesta yang menghadirkan harmoni keindahan ketika berpadu dengan musik yang juga berasal dari alam. Tari hadir sebagai pelengkap ritual upacara keagamaan sehingga menjadi sakral, sebagai hiburan/pertunjukan dan sebagai sarana pendidikan dan kesehatan.

Awal bulan September kemarin, saya bersama ibu-ibu yang tergabung dalam WHDI (Wanita Hindu Dharma Indonesia) Kota Bogor, tampil membawakan tarian Rejang Renteng dalam rangka Pujawali Pura Parahyangan Agung Jagatkartta, Gunung Salak, Bogor.  Rejang renteng merupakan salah satu tarian sakral, pelengkap upacara keagamaan yang hanya dipentaskan di dalam Utama Mandala Pura.  Lama tak pentas menari, agak kagok juga saya rasanya.  Akhir-akhir ini pentasnya lebih banyak cuap-cuap, bukan lenggak lenggok hehe.

Tari Rejang Renteng

Tari Rejang ini ada bermacam-macam yang dipentaskan sesuai fungsinya masing-masing.  Ada Rejang Dewa, Rejang Sutri, Rejang Renteng, Rejang Lilit, Rejang Bengkol, Rejang Oyod Padi, Rejang Ngregong, Rejang Alus, Rejang Nyangnyingan, Rejang Luk Penyalin, dan Rejang Glibag Ganjil.  Karena saya narinya Rejang Renteng, jadi saya akan lebih banyak cerita yang ini ya, untuk tarian lainnya, semoga suatu hari saya juga sempat membahasnya.

Baca juga : Melipur Lara di Desa Penglipuran

Yuk, Kenalan sama Tari Rejang

Tari Rejang adalah sebuah tarian tradisional Bali yang gerak-gerak tarinya sangat sederhana (polos), lemah gemulai, yang dibawakan secara berkelompok atau massal, dan penuh dengan rasa pengabdian dan bhakti.  Tari ini dilakukan oleh para wanita di dalam mengikuti persembahyangan dengan cara berbaris, melingkar, dan sering pula berpegangan tangan/selendang. Biasanya, Tari Rejang menggunakan pakaian adat atau pakaian upacara, menggunakan hiasan sederhana di kepalanya.

Tari Rejang Dewa
Tari Rejang Dewa

Sejauh ini, saya baru benar-benar pernah menari dan menyaksikan Rejang Dewa dan Rejang Renteng saja.  Rejang Dewa, juga ditarikan massal tapi penarinya khusus anak-anak/remaja.  Pakaian dan riasan kepala yang digunakan juga berbeda dengan Rejang Renteng yang tampil lebih sederhana.  Pada Rejang Dewa, hiasan kepala berupa rangkaian bunga dengan kreasi janur yang dibentuk sedemikian rupa menjadi mahkota sedangkan pada Rejang renteng, ibu-ibu hanya mengenakan pakaian adat biasa (kain panjang, kebaya dan selendang) dengan perpaduan warna dominan putih dan kuning.

Putih sebagai simbol Iswara lambang kesucian dan kebenaran, sedangkan kuning simbol Mahadewa lambang kebahagiaan.  Adapun hiasan kepala berupa sanggul dengan pusung tagel (rambut terlipat) yang menandakan bahwa penarinya adalah wanita yang sudah menikah.  Untuk jenis-jenis untaian rambut ini, di Bali ada maknanya sendiri juga lho, buat anak-anak/gadis, wanita menikah, janda dan seterusnya.  Nantilah ya kapan-kapan saya buat artikelnya.

Jadi, Seperti Apakah Tari Rejang Itu?

Tari Rejang Renteng bisa dibawakan oleh siapa saja, tak harus mereka yang benar-benar penari.  Ini karena gerakannya sederhana dan konsep tariannya adalah ngayah (persembahan/bekerja tanpa pamrih) yang identik dengan upacara-upacara keagamaan dalam konsep Hindu Bali.

Ada tiga sajian utama tari Rejang Renteng yaitu memendet, rejang dan memande.  Masing-masing gerakan dilakukan berulang-ulang sesuai alunan musik dari Gong Kebyar.

Memendet

Ditampilkan sebagai bagian pertama dalam gerakan tari rejang.  Dalam setiap gerakannya bermakna sebagai sarana untuk menghubungkan diri atau mendekatkan diri dengan Hyang Widi.  Itulah sebabnya dalam sajian ini gerakan utamanya adalah nyalud dan ngelung.

Tari Rejang Renteng

Tari Rejang RentengNyalud adalah gerakan tangan mengarah ke dalam dengan kedua tangan menutup dan membuka di depan dada dan posisi kaki secara bergantian kanan dan kiri berada didepan.   Sedangkan ngelung adalah gerakan merebahkan diri ke kanan dan ke kiri, disertai satu tangan lurus ke samping dan satu menekuk kearah dada.  Kedua gerakan ini menghadirkan lakon yang sangat dinamis, menarik dan menjadi permohonan agar Hyang Widi berkenan hadir memberkati upacara yang sedang berlangsung.

Rejang

Disajikan sebagai bagian kedua dari tari rejang dengan gerakan utama adalah ngeliud, ngenjet dan tanjak yang menjadi kesatuan utuh dalam gerak yang dinamis.

Tari Rejang Renteng

Ngeliud adalah gerakan mengambil selendang yang diikuti lengkungan pada badan.  Ngenjek adalah gerakan bada naik turun secara teratur dengan kedua tangan direntangkan kesamping.  Dan tanjak adalah berdiri dengan tangan lurus ke samping.  Tiga gerakan ini memberi makna kelembutan, kehalusan dan kedinamisan yang terkendali yang berarti melepaskan diri dari hal-hal negative, pensucian diri dan penyambutan.

Memande

Ini adalah bagian akhir dari tari rejang.  Dilakukan dalam bentuk rantai melingkar (renteng) dimana penari yang satu memegang selendang penari didepannya sehingga menjadi lingkaran yang tak terputus.  Bermakna ucapan rasa syukur dan terimakasih dan kesimbangan yang terarah dimana tiap penari saling menyesuaikan langkah dan jarak dengan penari lain di depandan belakangnya.

Tari Rejang Renteng

Dalam lingkar penuh, setiap penari melepaskan ego pribadi.  Pada titik ini dianggap pencapaian terbaik dimana kita sudah dapat menyamakan ritme dengan orang lain sehingga tak ada lagi rasa iri, saling mendahului, ataupun persaingan.  Tentunya ini fase terindah manusia.  Selesai dengan diri sendiri, sehingga menjadi pribadi yang penuh kasih dan siap melayani sesama, menjadikan semesta bertabur kasih di jalan Tuhan.

Tari Rejang Bentuk Seni Sebagai Tanda Cinta Pada Sang Pencipta

Dalam perspektif Hindu Bali, kesenian adalah bahasa universal yang menyatu dengan kehidupan masyarakatnya.  Ada 4 jalan menuju Tuhan yang dikenal dengan konsep Catur Marga yaitu Bhakti Marga (menyalurkan atau mencurahkan cinta yang tulus dan luhur kepada Tuhan, kesetiaan kepadaNya, perhatian yang sungguh-sungguh untuk memujanya), Karma Marga (jalan atau usaha untuk mencapai kesempurnaan atau moksa dengan perbuatan dan bekerja tanpa pamrih), Jnana Marga (mempersatukan jiwatman dengan paramatman yang dicapai dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pembebasan diri dari ikatan-ikatan keduniawian) dan Raja Marga Yoga adalah suatu jalan rohani untuk mencapai kesempurnaan, raja marga yoga mengajarkan bagaimana mengendalikan indria-indria dan vritti mental atau gejolak pikiran yang muncul dari pikiran melalui tapa, brata, yoga dan semadhi.  Nah, persembahan lewat tarian sakral ini termasuk dalam kategori Bhakti Marga.

Pura Parahyangan Agung Jagatkartta
Pura Parahyangan Agung Jagatkartta Gunung Salak, Bogor

Saat seseorang jatuh cinta atau mencintai sesuatu maka seluruh karya upayanya tertuju pada objek yang dicintainya.  Pun demikian dengan para seniman, dalam imajinasinya menghadirkan tari karena inilah bentuk persembahan, bhakti dan cinta mereka.  Melibatkan seluruh indra untuk membaca tanda alam, gerak dan suara menjadi perpaduan indah.  Para seniman pun ingin menyatu dengan seni karena sesungguhnya setiap insan di dunia ini adalah percikan seni. Bukan sekedar sebagai hiburan, maka terwujudlah juga seni wali yang disakralkan, salah satunya melalui tari rejang.

Saat membawakan Rejang Renteng tempo hari, kami sempat deg-degan lho.  Bukan apa-apa, beberapa saat sebelum tampil menari, hujan turun deras banget.  Tapi rupanya semesta benar-benar mendukung, 5 menit sebelum tampil hujan berhenti, menyisakan gerimis romantis yang jadinya menambah syahdu dan sakral suasana saat menari. Jangan tanya deh bagaimana harunya hati kami usai menari, ada bahagia yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hanya bisa dirasakan di lubuk hati yang paling dalam.

Buat yang penasaran sama Tari Rejang Renteng, bolehlah intip video ini.  Tapi yang ini bukan saat saya dan ibu-ibu di Bogor nari ya.  Yang versi kami hasilnya sepotong-sepotong, belum sempat ngedit euy.  Jadi saya hadirkan buat contoh saja, yang ini dalam suasana lomba antar Desa di Bali.

Selamat Menikmati

Pustaka :

Bandem, I Made. 1992.  Jati Diri Orang Bali ; Perspektif Kesenian.  Bali.  Bappeda Propinsi Bali

Senen, I Wayan. 2005.  Perempuan Dalam Seni Pertunjukan di Bali.  Yogyakarta.  BP ISI Yogyakarta.

22 thoughts on “Tari Rejang ; Sebuah Persembahan Tanda Cinta Pada Sang Pencipta

  1. Aku baru denger nama tarian ini mbak. Dan emang kekayaan Indonesia dalam hal budaya itu warbiyasaaaak banget. Satu provinsi aja bisa ada berbagai macam jenis tarian ya.

    Lihat foto yang ada, keinget sama si Ibu di film Pengabdi Setan deh hahaha, soalnya versi cantiknya dia pake baju kayak gitu.

    • Woiiiiii aku tak mau disamain dengan si Ibu
      Jitak nih Yayan, minta diguyur kuah pempek tampaknya dirimu ya hahahaha

      Iya banget tuh soal budaya Indonesia yang super kaya dan beragam. Makanya bangga bener aku lahir dan besar di Indonesia

  2. Gara says:

    Om swastyastu… wah tari rejang dibahas dengan sangat lengkap, keren banget. Selama ini saya belum begitu paham soal tahap-tahap gerakan rejangnya. Baru sebatas menikmati musik dan geraknya yang cenderung repetitif dan karenanya punya aura spiritual yang kuat. Sekarang jadi lebih jelas. Saat baca ini banyak bilang, “Oh, jadi begitu”, hehe… terima kasih ya Mbok.
    Saya sejauh ini baru melihat tari rejang dewa kalau ada odalan di pura-pura. Paling terkagum dengan musik terompong di awal tarian. Nggak tahu kenapa terngiang terus. Sekarang jadi penasaran juga dengan rejang renteng ini. Mudah-mudahan kalau pujawali Pura Gunung Salak nanti bisa ikut tangkil. Astungkare ya.
    Salam dari sesama anak Bali yang nggak lahir dan besar di Bali, wkwk…

    • Om Swastyastu
      Apa kabar Gara, lama gak bersua lewat blog ya. Habis ini mau ngider ah ke rumah mayamu, kangen sama tulisan detail soal sejarah yang selalu tersaji apik

      Ini nulis soal rejang renteng demi memenuhi permintaan seorang teman yang ngeliat postingan fotonya di IG-ku, lalu dia minta detail deskripsinya. Sekalian aja deh ditulis di blog
      Makasi ya udah baca

  3. Agung Rangga says:

    Om Swastiastu.
    Sama banget mbak, kedua orang tua saya juga asli Bali yang merantau ke Jakarta. Dan walaupun saya tidak lahir dan besar di Bali, tapi tetap diajari kebudayaan Bali oleh kedua orang tua saya. 😄
    Ahh, sayang sekali saya tidak ke Pura Gunung Salak pas pujawali kemarin. Padahal hampir tiap libur panjang, saya dan keluarga sering banget mekemit di sana. 😂
    Oh iya, salam kenal ya mbak.

    • Om Swastyastu
      Asik banyak temennya, sesama orang Bali KW hahahahaha
      Semoga kapan2 pas nangkil ke Gunung salak kita bisa ketemu ya
      Salam kenal juga. Terimakasih sudah membaca 🙂

  4. Wirdiata says:

    Om Swastyastu Mbk Tu…
    Apa kabar?
    Waahhh… tulisan tulisannya keren.. mantap.
    Saya jadi tau nih tentang rejang, khususnya Rejang Renteng yang mulai banyak diminati belakangan ini.

    Kalau pada Rejang Dewa ditarikan oleh anak-anak putri yang belum pernah mengalami siklus M, nah kalau pada Rejang Renteng ini apa ga ada aturan y? Misalnya ditarikan oleh perempuan yang telah selesai siklus M? Atau boleh semua perempuan?
    Mohon infonya Mbk….
    Suksma Mbk…

    • Halooo makasi ya udah baca
      Sependek yang aku baca dari beberapa literatur sih memang untuk rejang renteng ditarikan oleh ibu-ibu yang sudah menikah. Karena khan memang filosofinya lebih pada kematangan perilaku setelah dewasa

  5. Jadi kangen nari, nari jawa tapi kalo saya. itupun zaman SMP. salut euy sama ortu Mbak Arni tetep ngajarin nari Bali. Saya baru denger nih soal Tari Rejang. Selama ini kan yg dikenal Tari Pendet dan Kecak

  6. Keluargamu jauh ya merantaunya mbak Arni 😀
    Sepupuku kebetulan separuh Bali jg dan beberapa saudara masih ada yg tinggal di sana. Moga kapan2 bisa ke Bali lagi aamiin.

    Mbak Arni tarian ini bebas ditarikan oleh siapa aja ataukah khusus utk hari keagamaan penganut Hindu saja?

    Tarian khas Bali yg paling aku sukai tu tari yg ada gerakan mata ke kanan dan kiri itu. Itu melekat banget aku ketahui sejak kecil hehe.

  7. Mbak Arni, aku terpesona dengan penampilanmu. Anggun dan feminin sekali. Kain kuningnya cerah, bikin sang penari makin cantik. Lentur sekali badanmu mbak, cocok jadi penari. Dan aku baru pertama dengar nama Tari Rejang. Dulu pernah ke Bali, ke Pura yang dekat istana Presiden. Diajari sekilas tari Bali. Sulit betul memainkan tangan dan kaki hihi..

  8. Aku pangling pas liat foto Mbak Arni saat memakai baju adat Bali, anggun Mbak. Pasti ga percaya deh kalo dibalik keanggunannya ini suka foto levitasi 😛
    Aku baru denger nama tarian Rejang ini, makasih udah sharing Mbak. Jadi teringat saat nonton pertunjukkan tari di Bali dulu, duh jadi kangen ama Bali he3

  9. Putu Susanthi Dewi says:

    om suastiastu mbo….
    tyang mw share artikel ini, tpi kok ngga bisa ya?
    artikel ini bagus bangetdh, nambah wawasan buat saya
    sayang tidak bisa saya bagikan mbo….

Leave a Reply to Matius Teguh Nugroho Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *