Pesan Toleransi Dari Dusun Jlono Kemuning Karanganyar

Setiap kali traveling, saya belajar banyak hal.  Bertemu hal-hal baru yang memperkaya ruang pikir dan hati.  Apalagi kalau travelingnya ke tempat-tempat yang punya kearifan lokal yang unik, natural dan berbeda dengan kebiasaan di daerah lain pada umumnya, sungguh bikin hati hangat dan bahagia.

Pada dasarnya semua pengalaman traveling sangat berkesan.  Masing-masing memberi warna dan kesan yang berbeda.  Belum banyak memang tempat yang kami kunjungi.  Fyi, tim traveling terbaik saya adalah keluarga kecil kami.  Sejak Prema masih piyik, kami sudah mengenalkannya dengan perjalanan ke banyak tempat di Indonesia.

Libur lebaran tahun ini, kami sekeluarga bertandang ke Dusun Jlono, letaknya di Desa Kemuning, Kec. Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah.   Ikut pulang kampung ke rumah bapak Paryanto dan bu Erna yang kebetulan mau mudik juga.  Beriringan dari Bogor lalu masuk dalam ramainya arus mudik di tol trans Jawa.  Ramai tapi tak macet.  Kondisinya jauh berbeda dengan mudik kami 4 tahun lalu ke Bali atau 3 tahun lalu ke Dieng.  Terjebak macet dimana-mana yang bikin perjalanan terasa sangat melelahkan.

Kami tiba di Jlono saat matahari sudah beristirahat di bilik peraduan.  Mungkin karena posisinya di lereng Gunung Lawu, malam terasa lebih cepat hadir di sini.  Jam 6 sore hari sudah gelap.  Jauh berbeda dengan di Bogor.  Jam 6 mah masih terang, anak-anak baru kelar bermain di lapangan, pulang ke rumah masing.  Hawa dingin langsung menusuk tulang saat kami turun dari kendaraan.  Duuh… kalau gak ingat baru menempuh perjalanan jauh, pasti kami memilih untuk tidak mandi deh.  Airnya sedingin es.  Bikin darah terasa langsung membeku. Usai makan malam yang dimasak dari dapur tradisonal Mbah, karena hari sudah gelap, kami  langsung beristirahat dan belum sempat menikmati keindahan desa.

Memasak dengan tungku begini sungguh sebuah kemewahan di zaman sekarang. Kangen deh jadinya
Dusun Jlono Kemuning Karanganyar
Jlono kala malam

Desa Sejuk dengan Hamparan Kebun Teh, Buah dan Sayur

Brrr… lagi-lagi dingin menyapa saat pintu rumah dibuka saat pagi tiba.  Duuh rasanya saya masih ingin sembunyi dibalik sleeping bag deh.  Tapi khan rugi ya kalau berlibur lantas dipakai buat tiduran saja.  Akhirnya, membulatkan tekad untuk berjalan pagi sekaligus menghangatkan badan dengan bergerak.

Dusun Jlono Kemuning Karanganyar
Ayo main ke kebun teh
Dusun Jlono Kemuning Karanganyar
Mumpung di sini, nikmati udara segar sepuasnya
Dusun Jlono Kemuning Karanganyar
Ayo, panen sayuran!
Dusung Jlono Kemuning Karanganyar
Jeruk segar dari Jlono Kebun jeruk ini menjadi salah satu objek wisata di Jlono. Wisata petik jeruk Kemuning

 

Desa sejuk ini berada di tengah hamparan kebun teh.  Kalau teman-teman pernah melihat kemasan Teh Kemuning, dari sinilah pucuk-pucuk daun teh itu berasal.  Perkebunan teh yang sangat luas dan hijau.  Selain kebun teh, di sini juga ada kebun jeruk, kebun jambu dan aneka sayuran.  Saya ingat, di rumah Mbah (orang tua Pak Paryanto) kami makan sayuran segar yang langsung dipetik dari pohon di belakang dapur.  Rasanya manis, jauh berbeda dengan yang biasa beli di pasar.

Seperti daerah lain dengan hamparan kebun teh yang luas, umumnya menjadi daerah kunjungan wisata.  Sebut saja daerah Puncak di Bogor, kebun teh Rancabali di Bandung, kebun teh Gambung di Ciwidey, kebun teh Tambi di Dieng, kebun teh Pagaralam di kaki Gunung Dempo dan daerah lainnya.  Iya, Indonesia memang punya puluhan kebun teh yang tersebar di berbagai daerah.  Nah, begitupun di Kemuning, desa ini menjadi tujuan wisata yang menarik minat para pelancong.

Selain wisata kebun teh yang selalu menawan, di Jlono juga ada river tubing (keseruannya nanti akan saya tuliskan dalam artikel tersendiri), outbond, dan wisata alam lainnya.

Dusun Jlono Kemuning Karanganyar
Jalan desa yang bersih dan asri

Dusun Jlono Kemuning Karanganyar

Penduduk Dusun Jlono sangat ramah.  Kemanapun kaki melangkah, ada saja yang menyapa kami, minimal dengan senyuman.  Bahkan tak jarang yang mengundang untuk mampir. Dukuh Jlono terdiri dari kurang lebih 60 KK.  Mereka memeluk agama Hindu, Islam dan Kristen.  Kehidupan beragama di desa ini sungguh membuat hati saya terasa begitu damai, terharu dan luar biasa bahagia.

Pesan Toleransi Dari Jlono

Kami sekeluarga beberapa kali berkunjung ke tempat baru saat libur lebaran.   Pernah mengalami lebaran di Dieng, Kendari, Lampung, Cigamea dan lain-lain.  Nah, di Jlono saya menemukan sesuatu yang unik dan beda dari yang lain.

Saat hari raya Idul Fitri tiba, seperti umumnya di daerah lain pasti ada tradisi saling mengunjungi antar sesama warga.  Saling bersalaman dan bermaaf-maafan.  Tapi, di sini yang berkeliling dari rumah ke rumah adalah warga muslim.  Berkunjung ke rumah warga Hindu dan Kristen.  Saat lebaran, yang ramai justru rumah warga non muslim.  Yang menyiapkan hidangan kue kering dan penganan lainnya justru umat non muslim, karena warga muslimlah yang berkunjung dari rumah ke rumah untuk bersilaturahmi dan mohon maaf lahir batin atas kesalahan selama ini.  Ibaratnya, yang “kembali ke nol” adalah yang punya hari raya, karena itu harus rendah hati dengan memohon maaf.

Dusun Jlono Kemuning Karanganyar
Salam Pancasila dari Pura Jonggol Shanti Loka

Rumah Mbah selama 3 hari berturut-turut ramai sekali.  Banyak keluarga dan tetangga yang berkunjung.  Mbah bahkan sengaja “masak besar” untuk menjamu tamu yang datang.  Apalagi, Mbah termasuk tokoh yang dituakan baik dalam silsilah keluarga maupun di lingkungan setempat.

Sebaliknya, saat Nyepi, dimana Mbah dan warga lainnya yang beragama Hindu menjalankan catur brata penyepian (amati geni, amati karya, amati lelungan, amati lelanguan) di Pura, rumah-rumahnya yang kosong dijaga oleh warga muslim.  Setelah brata penyepian selesai, warga muslimlah yang menjamu warga Hindu sebagaimana saat lebaran.

Bahkan saat Nyepi, penduduk desa yang sebagian besar berprofesi sebagai petani rela menghentikan sejenak aktivitas mereka ke kebun dan kegiatan lainnya yang berpotensi ramai.  Menurut Bapak Gimanto, pemangku Pura Jonggol Santi Loka, saat malam tiba Dusun Jlono hening dan gulita.  Warga non Hindu menggunakan penerangan secukupnya. Hanya di dalam rumah, tidak membuat gaduh atau menyetel musik, televisi dan radio.  Sebagian besar warga non Hindu menjalankan ronda, menjaga keamanan dan ketenangan kampung.

Pura Jonggol Shanti Loka Dusun Jlono Kemuning Karanganyar
Ehm! No caption needed

Bahkan, menurut Pak Paryanto, warga yang ingin bepergian untuk sebuah urusan mendesak akan mendorong kendaraannya sampai ke ujung desa, baru menyalakannya di sana.  Agar tidak berisik dan mengganggu ketenangan suasana Nyepi. Selebihnya, mereka memilih untuk tetap berada di rumah.

Saya ingat sekali, saat kami pulang dari Candi Cetho dan Sukuh pada hari Senin, 2 hari sebelum lebaran, warga Hindu sedang sibuk menyiapkan takjil, yang akan dibagikan gratis ke warga muslim sekitar dan terminal bis terdekat, terminal Ngargoyoso.

Lansekap desa berupa perbukitan.  Pura Jonggol Santi Loka terletak tepat di ujung desa.  Posisinya paling tinggi di antara bangunan rumah-rumah penduduk.  Mesjid terletak di ujung lainnya.  Saat pembangunan rumah ibadah, warga di sini bahu membahu saling membantu.  Ucapan selamat hari raya berupa spanduk terpasang manis di sudut jalan.

Di sini, sudah biasa satu rumah berbeda agama.  Anak saya ada yang Kristen. Keluarga besar istri saya Islam.  Sementara kami adalah pemeluk Hindu,” kata salah seorang warga

Pura Jonggol Santi Loka Jlono Kemuning Karanganyar
View cantik dari bale kulkul Pura Jonggol Shanti Loka

Iya.  Mereka memang beragam.  Tapi tetap hidup harmonis satu sama lain.  Perbedaan hadir untuk mengkayakan, bukan menjadi sumber perpecahan.  Inilah aplikasi sila ketiga Pancasila yang sesungguhnya.  Persatuan Indonesia, toleransi yang indah, menggema di dusun kecil di lereng Gunung Lawu.  Dusun Jlono.

Dari banyak tempat yang sudah saya kunjungi, pengalaman di sini sangat berkesan.  Boleh jadi, liburan kali ini paling membekas di hati saya.  Bukan sekedar karena keseruan wisatanya, tapi justru pada kesederhanaan dan bersahajanya warga Jlono.  Sungguh sebuah pelajaran berharga saya dapatkan.

Bahagia sekali berada di sini

Dalam damai tanpa banyak teori

Dalam persaudaraan tanpa sekat

Dalam kerukunan tanpa muatan politik praktis

Bukankah pelangi itu indah karena banyak warna?

Karena kita satu, INDONESIA

Jlono, saya jatuh cinta

I Love you more than 3000, Jlono

 

Salam

Arni

128 thoughts on “Pesan Toleransi Dari Dusun Jlono Kemuning Karanganyar

  1. Toleransinya besar sekali ya Di Jlono, bahkan sampai warga non-muslimnya yang menyambut. Jadi hangat baca ceritanya, semoga toleransi seperti ini bisa menyebar di tanah air. By the way Jeruknya kelihatan enak sekaliiiii 😀

  2. Ibadah Mimpi says:

    Sungguh sebuah toleransi yang nyata dari lereng Gunung Lawu. Semoga Indonesia kedepannya bisa terlepas dari yang namanya SARA ya mbak. hihi
    Biar hidup kita menjadi lebih bermakna dan tenang

  3. Desanya begitu bersih dan asri. Kerukunan umat beragama dan saling bertoleransi itu tentu penting banget. Hidup berdampingan sesama umat manusia yang dikelilingi alam nan indah memesona. Apalagi bisa mendapatkan hasil panen sayu2-mayur, buah2an kayak gini, hhhmmm… suka cita dong ya 🙂

  4. Wian says:

    Wah hebat sekali ya mba warganya. Tingkat toleransinya tinggi banget. Dan salut sih tokoh yang mengajarkan hal ini di awal mulanya sehingga bisa turun temurun sampai saat ini.

  5. Wah, asik banget tempatnya ya. Pasti kalau pagi dingjn. Kalau saya di sana, pasti memilih nggak mandi. Hehehe…
    Menyenangkan sekali ya, membaca kisah kerukunan umat beragama di sini. Coba bisa ditiru di tempat lain.

  6. Masak di atas tungku sesuatu yang melegenda ya. Dulu lihat di pasar deket rumah waktu itu ada yang masak serabi dengan tungku dan itu enak banget. Untungnya sekarang masih tetep pakai tungku, karena memang taste nya itu lebih legit

  7. Baru pertama ini dengar nama Dusun Jlono. Dekat Lawu yaa, kalau mertuaku di Magetannya. Ga gitu jauh lah.
    btw tradisinya unik ya, justru pas lebaran orang muslim berkunjung ke rumah-rumah orang kristen dan hindu.

    • Wah dekatan dong ya Magetan sama Karanganyar. Kapan-kapan main ke sana mbak
      Untuk tradisi kunjung2an itu, dalam pengertian di sana, yang merayakan yang mengakui kesalahan dan meminta maaf lahir batin pada yang lainnya

  8. Memez Heidy Prameswari says:

    Mbaaaa…. aduh perasaanku campur aduk saat membaca postingan ini. Antara penasaran sama Dusun Jlono, Antusias banget pingin datang ke sana karena terbayang sejuk dan tenangnya, dan yang paling aku rasakan adalah terharu dengan toleransi beragama antar penduduknya…

    Kita Tak Perlu Seragam Ya, Karena Kita Beragam

    Thanks for sharing, sehat selalu yaaa

  9. Waah bagus sekali ya Mbak toleransi antar warganya. Sesuatu yang mahal sepertinya sakarang ini. Dulu sepertinya lebih mudah kita bertoleransi , saling menghargai. Tapi akhir -akhir ini saya sedih karena antar sesama umat beragama tidak bisa toleransi seperti dulu saat kita masih kecil.

  10. Aku sampai scroll lagi ke atas, pas bahas agama. Kukira di Bali, kok ada Hindunya. Baca judul, ternyata di Karang Anyar. Pernah sih ke Candi Sukuh dan Ceto, tapi engga ngira bahwa penduduk sekitarnya masih ada yang memeluk Hindu. Hebat ya toleransinya.
    Aku seneng lihat jeruk-jeruknya. Pengen metik…Hehe…

  11. Baca tulisanmu ini bikin daku optimistis lagi Mba.
    Tadinya sudah patah hati liat orang-orang berantem karena beda agama, beda suku, beda pilihan politik.

    ☺️☺️

  12. Suasana desanya bikin betah. Asri, hijau dan rukun. Percontohan yang wajib nih bagi desa lain dalam.mwnjaga kearifan lokal, lingkungan dan kebudayaan…

  13. Baca artikel yang satu ini bikin rasa in kek nano nano dan gado-gado, campur aduk. Ada rasa bahagia liat pemandangan alam nan permai. Ada rasa damai dengan kehidupan yang penuh toleransi dan harmonis. after reading feelings nya: Rindu dan haru. Berharap Indonesia bisa seutuhnya damai dan toleran seperti masyarakat Dusun Jlono Kemuning, Karanganyar.
    Wish to see this place oneday.

  14. Mbak Arni, aku baru tahu kalau di sudut Karanganyar ini ada sebuah desa di mana beberapa warga Hindu bermukim. Jadi nggak cuma Bali aja ya. Salut dengan toleransi mereka, semoga tetap terjaga dan bahkan bisa mempengaruhi daerah lainnya ya.

    Sekadar cerita. Keluarga besarku muslim, tapi ibu dan bapak Kristen. Saat lebaran, kami tetap memasak ketupat dan opor ayam, menyiapkan biskuit, dan melakukan budaya bermaaf-maafan di dalam keluarga. Sudah jadi budaya kami orang Jawa sih.

    Indahnya kehidupan sederhana di desa. Bangun pagi-pagi disambut udara dingin dan segar, berjalan santai di jalan kecil yang bersih dan lengang, lalu memanen sayuran.

    • Hindu Jawa banyak mas. Di Jlono mungkin gak terlalu banyak. Di sekitar Candi Cetho malah 90 % Hindu penduduknya

      Bukan hanya di Karanganyar, di Blitar, Lampung, Malang dan beberapa daerah lainnya juga banyak yang Hindu (bukan suku Bali)

  15. Darius Go Reinnamah says:

    Adem banget mbak baca tulisanmu.
    Memang kehidupan seperti ini yang diperlukan di Indonesia. Kehidupan agama yang bebas dan tidak ada rasa takut untuk beribadah.
    Ketika ada umat lain yang ingin membangun rumah ibadah (dengan catatan semua syarat sudah lengkap), yang berbeda agama boleh banget lho membantu.
    Karena meskipun kita bukan saudara dalam satu agama, kita ini saudara dalam kemanusiaan. Humanity above Religion 🙂

  16. Desa yg indah alamnya, ditambah suasana kekeluargaan dan toleransi yg dijalankan oleh warganya. Sangat menginspirasi.
    Saya seneng lihat foto2 nya, apalagi yg panen jeruk

  17. wah cucok banget nih….sukaa dengan desa-desa yang kayak Jlono ini..Potensi hasil buah dan sayurnya juga menggoda buat dicomot..jeruknya apalagi…

  18. Keberagaman yang indah. Tetap bisa hidup harmonis satu sama lain. Perbedaan hadir untuk saling mengayakan. Bukan menjadi sumber perpecahan. Setuu banget. Pengaplikasian sila ketiga Pancasila. Persatuan Indonesia, yang nyata di dusun kecil di lereng Gunung Lawu. Dusun Jlono.Dari merekalah, kita bisa belajar toleransi.Terima kash atas tulisan apiknya.

    • Oh bukan begitu maksudnya mbak
      Ini di Jlono kondisi begitu hanya saat hari raya Nyepi. Karena sebagian warganya merayakan Nyepi, umat non Hindu menghormatinya dengan cara ikut menjaga ketenangan dan keheningan desa

    • Homestay banyak kok mbak. Paket liburan sepertinya ada sih, tapi karena sata nginep di rumah teman dan kami bawa kendaraan sendiri, jadi itinerary kami atur sendiri

  19. Reni says:

    Ajakin dong mba klo travelling hihi, seneng bgt ke tempat asri kaya gini. Setuju banget, Travelling ke tempat yang bnyk kearifan lokalnya bisa memperkaya ruang hati dan pikiran. Ya ampun itu sayur dan buah fresh banget.

    • Errr… Nggak juga sih mbak
      Malah gak ada Bali-Balinya sama sekali
      Semua penduduknya Jawa asli
      Yang Hindu, Islam, Kristen semuanya suku Jawa
      Memang sejak dulunya begitu 😊

  20. Selalu bahagia kalo melihat indahnya toleransi yaa mba, sebuah hal yang udah langka di Indonesia karena semua merasa paling benar. Wah, penasaran aku sama river tubingnya tuh belum pernah coba.

  21. Desa semacam itu langka rasanya, betapa perbedaan dan keragaman tetap menyatukan mereka dalam persaudaraan sehingga kearifan lokal tetap terjaga dengan baik.
    Saya harap semoga desa lain mencobtoh warga desa di Jlono. Alam yang indah dan tenang membuat warganya meresapi kehidupan demgan harmoni yang tenteram.

  22. adem banget baca tulisan ini. nggak hanya udara yang sejuk tapi juga lingkungan yang saling menghargai perbedaan. Saling menghormati dan saling menghargai

    • Terimakasih sudah mampir mbak
      Saya hanya menceritakan apa yang saya alami. Dan saat menuliskannya hati saya hangat. Impian kita sama, ini bisa menular ke daerah2 lain di Indonesia

  23. Awalnya aku mengira itu keluarga yang beragama Hindu dari Bali, ternyata dari Jawa juga ya. Baca cerita Mbak bikin hati hangat. Toleransinya keren, mana lagi dalam satu rumah beda-beda agama tak masalah. Kalau di keluargaku dan keluarga Pewe juga sama sih, kami besar di keluarga yang anggotanya ada lima agama dan beragam suku. Cuma tak satu rumah sih, beda-beda rumahnya

    • Banyak yang mengira seperti itu mbak
      Padahal di Jawa sebenarnya memang masih banyak yang Hindu
      Orang Hindu Bali itu, sejarahnya justru berasal dari Jawa lho

      Untuk keluarga yang biasa berwarna warni dalam keluarga, toleransinya tentu gak diragukan lagi. Semoga kita semua damai selalu ya, mbak

  24. Indahnya nusantara dengan keberagamannya, ini yang saya selalu banggakan saat orang asing bertanya tentang apa yang bisa kami lihat dari Indonesia selain alamnya, pastinya toleransi beragamanya.

  25. Kalau hidup di kampung memang begitu mbak. Di kampung asal saya malah gereja dan masjid posisinya bersebelahan, udah kayak indomart dan alfamart gitu. Tapi sampai saat ini ya damai-damai aja.

    Lihat foto pertama, masak pakai tungku dan kayu bakar, saya jadi ingat simbok yang di kampung. Udah dibelikan kompor gas, tapi tetap aja nggak mau pakai. Masaknya tetap di tungku dan pakai kayu bakar

    • Iya mbak. Indah sekali hidup di kampung ya. Damai tentram. Ritme kehidupannya teratur dan nyaman banget
      Btw masakan yang dimasak dengan tungku rasanya beda lho, lebih enak

  26. Traveling memang salah satu bentuk belajar yang sangat menyenangkan, Mbak. Membentangkan cakrawala di tempat yang berbeda. Semakin jauh, semakinmengasah keinginan belajar dan toleransi. Perjalanan memang sebuah cara belajar.

    Btw, kalau di dataran tinggi gini, oseng labu siyem dan daun siyem adalah 2 menu yang paling ngangeni. Biasanya saya bawa ikan asin untuk oleh-oleh pemilik rumah. Ikan asin itu akan dimasak sepiring untuk kami para tamu, dan rasanya LUAR BIASA!

  27. Tidak kusangkan jlono kemuning karanganyar sangat tenang dan adem ayem.. meskipun suasana saya di sini hiruk pikuk namun disana tetap menjadi destinasi wisata lokal yang baru dan tenang

    • Pokoknya kalau ke Jlono pasti betah deh
      Tenang banget desanya. Oh ada satu lagi yang unik dan lupa saya ceritakan dalam tulisan, kalau pagi warga sini nyapu halaman dan jalanan bareng-bareng lho, seru banget lihatnya. Makanya jalan2 di Jlono bersih banget, tiap hari disapuin

  28. COBA GEH says:

    Soal Toleransi kebanyakan memang orang orang yang hidup di pedesaan dan memiliki masyarakat yang majemuk.

    Untuk Desa Jlono sendiri aku salut dan apresiasi, udara yang sejuk, desa yang bersih dan tertata rapih ditambah masyarakat nya yang menyambut dengan hangat.

    • Toleransi di masa kini mulai terkikis
      Entah apa sebabnya, tapi ini menyedihkan
      Aku nulis ini sebagai salah satu bentuk keprihatinan akan kondisi saat ini sekaligus ingin menunjukkan bahwa ada lho contoh nyata toleransi yang membawa kedamaian itu

  29. Ya Allah mbakk..enak banget ya suasana kekeluargaan di desa Jlono itu. Bukan cuma pemandangannya yang asri dan sejuk, masyarakatnya juga. Duuh..bikin adem ini mah.

  30. Ira Hamid says:

    baca tulisan ini setelah kemarin kita disuguhkan berita menyedihkan tentang terorisme rasanya kayak minum air segar di tengah hari, huhuhu.

    Betapa indahnya bila umat beragama saling menghargai satu sama lain yaa

    • Iya betul. Sedih banget banyak yang mudah terprovokasi karena urusan SARA. Semoga dengan cerita-cerita seperti ini, kita sama-sama sadar bahwa jauh lebih penting menjaga perdamaian

  31. indonesia memang beragam yah mba dan membaca cerita mba ini benar-benar menunjukkan hal tersebut. indonesia damai untuk semua. semoga ada kesempatan bisa berkunjung ke jlono dan melihat secara lansung indahnya toleransi tersebut

  32. Memang seharusnya begini hidup damai dalam perbedaan. Selama tidak mencampuri urusan yang prinsipil (akidah/keyakinan) kita harus saling menghargai dan toleransi.

    Dan aku suka bagian yang ini “Ibaratnya, yang “kembali ke nol” adalah yang punya hari raya, karena itu harus rendah hati dengan memohon maaf”, mengajarkan ikhlas dan kerendahan hati.

  33. OMG aku sangat-sangat terharu membaca tulisan ini. Sedih sih, sejak bertahun lamanya pindah ke ibukota, suasana penuh toleransi ini makin hari makin sulit saja dirasa.

    Semoga Indonesia kan selalu seperti ini ya. Damai dalam segala perbedaan.

  34. Terasa begitu hangat, akrab dan damai. Tiada pertikaian dan saling hujat. Sungguh indahnya. Semoga kita bisa belajar dari dusun yang warganya hanya sekitar 60 KK itu. Saling menghormati dan memahami.

    Ini yang namanya indahnya perbedaan, ya. Jadi pengen liburan ke sana juga.

  35. baca tulisan ini hatiku menghangat mbak..
    Betapa sebenarnya toleransi di Indonesia itu masih ada
    senang mengetahui bisa hidup berdampingan seperti ini
    Jadi pengen jalan jalan ke Jlono juga aku .
    semoga someday kesampaian

  36. Woah seru mbak! Aku baru aja kemarin abis dari Tawangmangu. Pengen juga deh mampir ke kebuh jeruk kaya gini. Seger banget liatnya, dan pasti udaranya juga. And I love the message about tolerance in this blog post. Makasih sudah berbagi mbak 🙂

  37. Andayani Rhani says:

    traveling tidak hanya sekedar singgah ke sesuatu tempat tapi juga mengukir kenangan. menarik banget cerita di dusun Jlono inii. tempatnya sangat asri, toleransinya pun nggak perlu di ragukan lagi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *